
(Perspektif Penafsiran Ibnu Katsir)
Abstrak
Al-Qur’an
adalah merupakan petunjuk bagi manusia yang Allah turunkan dimuka bumi ini.
Al-Qur’an memiliki kandungan yang sangat luas, sebagiaman menurut ulama bahwa
secara umum keandungannya mencakup aspek aqidah, iman, politik, budaya, soaial
bahkan ekonomi semuanya terdapat dalam al-Qur’an. Terkait dengan kandungan yang
luas para mufasir memiliki kebaragaman dalam menafsirkan al-Qur’an. Keberagaman
yang ada adalah karena bedanya metode dan corak yang digunakan oleh masing
masing mufasir sejak masa kelasik sampai masa kontemprer sekarang ini dalam
menginterpretasikan makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Adapun sala satu
ayat al-Qur’an yang ditafsirkan adalah al-Qur’an surah ar-Ra’du ayat 11. Secara
umum makna ayat ini adalah Allah menggambarkan tentang perintah Allah kepada
hamba-nya unutk berusaha jika hambanya ingin menjadi lebih baik. Adapun para
mufasir baik itu masa kelasik sampai sekarang ini dalam menafsirkan ayat ini
berbeda-beda diantaranya adalah Ibnu katsir. Ibnu katsir adalah merupakan salah
satu mufasir terkenal pada masa kelasik yang karya tafsirnya banyak menajdi
rujukan oleh para akademisi dan para guru dalam memahami al-Qur’an. Ibnu Katsir
dalam menafsirkan al-Quur’an memiliki metode dan corak denagn ciri khasnya
sendiri sehingga berbeda dengan mufasir lainnya.
Kata Kunci: Ibnu Katsir, Metode, Corak, Karya-karya, Tafsir Al-Qur’an
surah Ar-Ra’du ayat 11.
A. Pendahuluan
Upaya mamahami kandungan al-Qur’an telah
dilakukan oleh banyak ulama dan tidak pernah berhenti sampai sekarang ini. Hal
ini adalah karena merupakan salah satu kemukjizatan al-Qur’an yaitu kandungannya
yang sangat luas dan pembahasannya yang mencakup segala aspek kehidupan. Serta
dalam memahaminya tidaklah sembarangan dan harus dengan ilmu sebagaimana yang
telah dilakukan olah ulama-ulama sebelumnya baik masa awal Islam maupun sampai
sekarang ini.
Ilmu dalam memahami al-Qur’an tentunya
ada cara dan metode yang digunakan sehingga dari makna ayat yang dijelaskan
atau ditafsirkan ini tidak menyimpang dari makna yang sebenarnya. Adapun cara
dan metode ini sangatlah beragam dan bermacam-macam. Salah satunya yang menjadi
pokok pembahasan adalah metode dengan cara membandingkan beberapa tafsir baik
itu masa klasik, pertengahan maupun kontemporer sekrang ini atau lebih dikenal
dengan istilah tafsir muqarran. Sedangkan dari sekian banyak mufasir
yang menjadi pembahasan dalam penulisan ini adalah tafsirnya Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim.
B.
Biografi Ibnu Katsir
Ibnu katsir adalah seorang ulama muslim
yang terkenal, nama lengkapnya adalah Imamul Jalil Al hafidz Imadud din Abu
Fida’ Isma’il ibnu ‘Amar ibnu Kasir ibnu Dau’ ibnu Kasir ibnu Zar’i Al-Basri
Ad-Dimisyqi. Ibnu kasir selain ulama tafsir beliau juga adalah seorang ulama
yang faqih (Ahli Fiqih) yang bermadzhab Imam Syafi’i.[1] Ibnu Katsir dilahirkan di
perkampungan di Syam di kota Bashrah, di bagian timur kota Damaskus yaitu
sekitar pada tahun 701 H. Adapun ayahnya adalah seorang pendakwah di kota
tersebut.[2]
Ayahnya meninggal ketika ia berusia
tujuh tahun, setelah ayahnya meninggal Ibnu kasir dengan saudara-saudaranya
pindah ke kota Damaskus yaitu tepatnya pada tahun 706 H. Di Damaskus inilah ia
banyak belajar ilmu dengan ulama-ulama di kota tersebut, diantaranya yang
menjadi guru beliau adalah Bahrudin Al Fazari, Ibnu Sawaid, Al Qasim, Ibnu
Asakir, Kamal al-Din Ibnu Qadi Syuhbah dan masih banyak lagi.[3] Selain itu beliau juga
belajar dengan Ibnusyi Syahnah, Al Mazi dan guru-guru lainya diantaranya Imam
Ibnu Taimiyah.[4]
Adapun yang menjadi guru utama Ibnu Katsir adalah Bahrudin al-Farazi dan Kamal
al-Din Ibnu Kadi Syuhbah. Dari keduanya beliau banyak belajar tentang
hukum diantaranya beliau mempelajari
ilmu fiqih dengan menelaah kitab al-Taubah karya al-Syirazi dan Mukhtashar
Ibnu Hajib hingga dalam sejarahnya beliau menjadi rujukan oleh para
penguasa dalam persoalan hukum.[5]
Ibnu Katsir dalam mempelajari Al-Qur’an
banyak belajar ketika berada dalam bimbingan Ibnu Taimiyah. Sehingga Pada usia
sebelas tahun Ibnu Katsir menyelesaikan hafalan al-Qur’an dan memerdalam Ilmu
qira’at dan studi tafsir.[6]
Ulama sezamannya banyak yang memberikan
penilaian kepada Ibnu Katsir, salah satunya seorang ulama serta sebagai gurunya
yaitu Imam al-Dzahabi menyatakan dan memberikan penilaian kepada Ibnu Katsir
bahwa beliau adalah seorang imam, mufti, faqih dan muhadits serta mufasir yang
kritis.[7]
Ibnu Katsir adalah seorang ulama yang
berilmu tinggi dan wawasan ilmu yang luas sehingga ulama sezamannya menyebut
beliau dengan sebutan al-Muarrikh karena kepakarannya dalam bidang
sejarah. Selanjutnya sepeninggal gurunya (al-Dzahabi) Ibnu Katsir banyak
diberikan kepercayaan diantaranya, dipercayakan untuk menggantikan guruya
sebagai syaikh di Um al-Shaleh serta beliau juga dipercaya memimpin Dar
al-Hadits al-Syarafiyyah setelah al-Subki meninggal dunia.[8]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata bahwa Ibnu
Katsir pada akhir hayatnya beliau mengalami kehilangan penglihatan (buta).
Adapun dalam buku “Minhal Ash-Shafi” pengarangnya
menjelaksan bahwa pada akhirnya Ibnu Katsir meninggal dan kembali kepada Allah
Swt. pada usia ke 73 tahun, yaitu pada hari kamis tanggal 26 Sya’ban tahun 774
H.[9]
C. Metode
dan Corak Penafsiran
Metode penafsiran adalah cara-cara atau
langkah-langkah yang terusun sistematis serta merupakan sebuah alat atau sarana
untuk menguraikan dan mengulas materi yang terkandung dalam al-Qur’an,
khususnya untuk penulisan tafsir al-Qur’an sehingga benar-benar bisa mengurai
setiap makna yang terkandung dalam al-Qur’an.[10]
Ibnu Katsir sebagaimana mufasir yang
lain dalam menafsirkan al-Qur’an juga menggunakan metode dan cara tersendiri
yang membedakan karyanya dengan karya-karya ulama yang lain. Adapun metode yang
digunakan beliau adalah metode tahliliy (analitis).[11]
Metode yang digunakan oleh Ibnu Katsir
dalam kitab tafsirnya memiliki ciri khas tersendiri dari tafsir-tafsir yang
lain. diantaranya metode yang beliau tempuh adalah sebagai berikut:
1.
Pada mulanya mengetengahkan ayat, lalu menafsirkan
dengan ungkapan yang mudah dan ringkas.
2.
Memperjelas ayat dengan ayat yang lain (Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an).
3.
Menjelaskan ayat dengan hadis-hadis yang berpredikat marfu’[12].
4.
Kemudian diiringi dengan berbagai pendapat tentang ayat
tersebut baik itu dari para sahabat para tabi’in dan ulama salaf setelahnya
serta mentarjihnya, apakah ia shahih atau dha’if.
5.
Serta mengutip dari tafsir-tafsir ulama lainnya, misalnya
Tafsir Ibnu Jarir, Ibnu Abu Hitam, Tafsir Ibnu Atiyyah, dan ulama lainnya.
6.
Memberikan peringatan agar tetap berwaspada akan
kisah-kisah yang ada dalam tafsirnya apakah kisah itu termasuk kisah israilliyat
yang mungkar.
Ibnu katsir dalam menafsirkan Al-Qur’an
adalah termasuk dalam tafsir bi al-ma’tsur. Artinya dalam penfsiran Ibnu
katsir menafsirkan ayat al-Qur’an dengan menggunakan riwayat (ma’tsur). Corak
yang digunakan dapat dilihat dari metode yang digunakan diantaranya dalam tafsirnya
beliau menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadis
Rasulullah Saw., al-Qur’an dengan pendapat-pendapat ulama, al-Qur’an dengan
riwayat-riwayat (cerita-cerita israiliyat).[13]
D. Penafsiran
Ayat Al-Qur’an (Q.S. Ar-Ra’d/13: 11)
Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Qur’an
sebagaimana dibahas di atas, dapat kita lihat dari tafsir beliau terhadap Firman
Allah Q.S.Ar-Ra’du/13: 11 berikut ini:
Artinya :Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap suatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[14]
Ibnu katsir dalam kitab tafsirnya Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim yaitu dimana beliau menjelaskan kandungan makna dari Q.S.
Ar-Ra’du/13:11, sebenarnya sangat berkaitan dengan ayat sebelumnya yaitu Q.S.
Ar-Ra’d/13:10. Adapun kandungan ayat ini menjelaskan tentang apa yang kita
sembunyikan dan kita ucapakan, serta tentang hambanya yang bersembunyi di malam
hari dan yang berjalan di siang hari pasti Allah ketahui. [15]
Hubungan kandungan makna antara Q.S.
Ar-Ra’d/13: 10 dengan Q.S. Ar-Ra’d/13: 11 adalah bahwa apapun yang kita lakukan
di dunia ini baik itu disembunyikan maupun dinyatakan baik itu di siang hari
maka sesungguhnya Allah Swt. maha tahu karena ada malaikat yang telah
ditugaskan untuk menjaga kita baik di depan maupun di belakang hamba-Nya.
Tafsir Ibnu Katsir dalam Q.S. A-Ra’d/13:11
adalah sebagaimana berikut ini[16]:
وقوله: { لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ
يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ } أي: للعبد ملائكة يتعاقبون عليه، حَرَس
بالليل وحَرَس بالنهار، يحفظونه من الأسواء (5) والحادثات، كما يتعاقب ملائكة
آخرون لحفظ الأعمال من خير أو شر، ملائكة بالليل وملائكة بالنهار، فاثنان عن
اليمين و[عن] (6) الشمال يكتبان الأعمال، صاحب اليمين يكتب الحسنات، وصاحب الشمال
يكتب السيئات، وملكان آخران يحفظانه ويحرسانه، واحدا (7) من ورائه وآخر من قدامه،
فهو بين أربعة أملاك بالنهار، وأربعة آخرين بالليل بدلا حافظان وكاتبان، كما جاء
في الصحيح: "يتعاقبون فيكم ملائكة بالليل وملائكة بالنهار، ويجتمعون في صلاة
الصبح وصلاة العصر، فيصعد إليه الذين باتوا فيكم فيسألهم وهو أعلم بكم:[17]
Demikianlah tafsir Ibnu Katsir dalam
Q.S. Ar-Ra’d/13:11, yang dikutip dalam Makhtabah Shamela, selanjutnya
bisa juga dilihat dalam tafsirnya Ibnu Katsir yang dikutip dari terjemahan dari
kitab aslinya, sebagaimana berikut ini[18], Firman Allah Swt. Q.S.
Ar-Ra’d/13: 11:
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.[19]
Ibnu Katsir dalam tafsirnya dalam Q.S.
Ar-Ra’d/13:11 ini, beliau menafsirkan bahwa bagi setiap manusia selalu ada
malaikat yang menjaga hamba-Nya Allah secara bergiliran, ada yang di malam hari
ada pula yang di siang hari dari hal yang buruk dan hal dapat mencelakakan. Sebagaimana
bergiliran pula kepada malaikat-malaikat lainnya yang bertugas mencatat semua amal baik dan amal
buruknya, mereka menjaganya secara bergiliran. Ada yang di malam hari ada yang
di siang hari, ada di sebelah kanan dan di sebelah kirinya. Malaikat yang di sebelah
kanan mencatat amal baiknya dan yang sebelah kirinya mencatat amal buruknya.
Selain itu ada dua malaikat lain yang
bertugas menjaga dan memeliharanya, ada yang di belakang dan ada yang di depan.
Dengan demikian, seorang hamba dijaga oleh empat malaikat di siang dan empat malaikat
di malam hari. Sebagiaman disebutkan di dalam hadis sahih:
Artinya :Malaikat-malaikat di malam hari
dan malaikat-malaikat di siang hari silih berganti menjaga kalian, dan mereka
berkumpul di waktu shalat subuh dan shalat ashar. Maka naiklah para malaikat
yang menajaga kalaian di malam hari, Tuhan Yang Maha Mengetahui keadaan kalian
menanyai mereka, “Dalam keadaan apakah kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?”
Mereka (para malaikat malam hari menjawab, “Kami datangi mereka sedang mereka
dalam keadaan shalat dan kami tinggalkan mereka sedang dalam keadaan
shalat.”
Di dalam hadis lain disebutkan:
Artinya :Sesungguhnya bersama
kalian selalu ada malaikat-malaikat yang tidak pernah berpisah dengan kalian,
terkecuali di saat kalian sedang berada di kakus dan ketika kalian sedang
bersetubuh, maka malulah kalian kepada mereka dan hormatilah mereka.
Ali bin Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas Sehubungan
dengan makna Firman-Nya Q.S. Ar-Ra’d/13:11. yang bergiliran dari Allah adalah
para malaikat-Nya. Ikhrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman Allah Swt.:
Artinya: Mereka menjaganya atas
perintah Allah.[20]
Para malaikat ditugaskan untuk
menjaganya di depan dan di belakangnya. Apabila takdir Allah telah memutuskan
sesuatu terhadap hamba-Nya yang bersangkutan, maka para malaikat itu menjauh
darinya.
Mujahid mengatakan bahwa tiada seorang
hamba pun melainkan ada malaikat yang ditugaskan untuk menjaganya di saat ia
tidur dan di saat ia terbangun, yakni menjaganya dari kejahatan jin, manusia,
dan hewan buas. Tiada suatu makhluk itu yang datang kepada hamba yang
bersangkutan dengan tujuan untuk memudharatkannya, melainkan malaikat penajaga
itu berkata kepadanya “Pergilah ke belakangmu!” Kecuali apabila ada sesuatu
yang titakdirkan oleh Allah, maka berulah dapat mengenainya. Imam Abu Ja’far
ibnu Jarir sehubungan dengan hal ini telah meriwayatkan sebuah hadis garib.
Ia mengatakan, telah mencritakan kepadaku Al-Musanna, telah mencdritakan kepada
kami Ibrahim ibnu Abdus Salam ibnu Saleh Al-Qusyairi, telah menceritakan kepada
kami Ali ibnu Jarir dari Hammad ibnu Salamah, dari Abdul Hummaid ibnu Ja’far,
dari Kinanah Al-Adawi yang mengatakan bahwa Usman ibnu Affan masuk ke dalam
rumah Rasulullah Saw., lalu ia bersabda, “Seorang Malaikat berada di sebelah
kananmu yang mencatat amal baikmu, ia adalah kepala (Pemimpin) dari malaikat
yang ada di sebelah kirimu. Apabila kamu mengerjakan sesuatu kebaikan, maka
dicatatlah sepuluh kebaikan, dan apabila kamu mengerjakan suatu keburukan
(dosa), maka malaikat yang ada di sebelah kirimu berkata kepada malaikat yang
ada di sebelah kananmu, ‘Bolehkah aku mencatatnya?’ malaikat yang di sebelah
kanan menjawab, ‘ Jangan, barangkali dia memohon ampun kepada Allah dan
bertobat kepada-Nya.’ Malaikat yang ada di sebelah kiri meminta izin kepada
yang ada di sebelah kanan sebanyak tiga kali. Dan apabila yang di sebelah kanan
berkata, ‘Catatlah, semoga Allah membebaskan kita darinya. Seburuk-buruk orang
yang kita temani adalah orang yang sedikit perasaan muraqabah-Nya (diawasi
oleh Allah) dan sedikit malunya terhadap kita.’
Sebagaimana firman Allah Q.S. Qaf/50:18:
Artinya :Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di
dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.[21]
Adapun tafsir Ibnu Katsir terhadap Q.S
Ar-Ra’d/13:11, sebagaimana berikut ini:
Artinya:Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.[22]
Tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa,
Hal ini disebutkan dalam suatu hadis yang berpredikat marfu’. Al-Hafidz
Muhammad ibnu Usman ibnu Abu Syaibah mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Sifatul
‘Arsy: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali, telah menceritakan
kepada kami Abu Hanifah Al-Yamani Al-Ansari, dari Umair ibnu Abdul Malik yang
menceritakan bahwa Khalifah Ali ibnu Abu Talib berkhotbah kepada kami di atas
mimbar Kufah. Antara lain ia mengatakan, “Apabila aku berdiam diri tidak
berbicara kepada Rasulullah Saw., maka beliaulah yang memulainya kepadaku; dan
apabila aku menanyakan suatu berita kepadanya, dia menceritakan kepadaku. Dan
dia menceritakan kepadaku suatu hadis dari Allah Swt. Yang menyebutkan:
Artinya:Tuhanmu berfirman,’Demi Kemulian, Keagungan, dan
Ketinggian-Ku di atas ‘Arsy tiada suatu (penduduk) kota pun, dan tiada
pula suatu ahli bait pun yang tadinya mengerjakan hal yang Aku benci yaitu
berbuat durhaka terhadap-Ku, kemudian mereka berpaling dari perbuatan durhaka
itu menuju kepada perbuatan yang Aku
sukai, yaitu taat kepada-Ku, melainkan Aku palingkan dari mereka hal yang tidak
mereka sukai, yaitu azab-Ku; dan Aku berikan kepada mereka hal yang mereka
sukai, yaitu rahmat-Ku’.”[23]
Demikianlah tafsir Ibnu Katsir yang
menjelaskan kandungan makna terhadap Q.S Ar-Ra’d/13:11, dimana kandungan dari
ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Allah mengabarkan kepada hambanya bahwa
bagi setiap hamba-Nya Allah ada malaikat yang telah ditugaskan secara
bergiliran baik itu di waktu malam maupun di waktu siang. Adapun
malaikat-malikat-Nya ada yang di depan maupun di belakang, di kanan maupun di
kiri, di atas maupun di bawah. Yang mana tugas mereka adalah untuk menjaga,
mencatat dan memelihara hamba-Nya agar terhindar dari hal yang dengan izin
Allah bisa mencelakan dan menyebabkan hal buruk terhadap hamba-Nya.
Kandungan lainnya adalah bahwa Allah
mengabarkan, Allah tidak akan mengubah keadaan hamba-Nya apabila hamba-Nya
tidak mengubah keadaan mereka sendiri dengan izin Allah. Artinya dari apa yang
telah ditetapkan bagi hamba-Nya ini ada sistem yang telah ditatapkan oleh Allah
Swt., serta sistem itu juga merupakan bagian dari takdir yang telah ditetapkan
oleh Allah Swt.
E.
Kesimpulan
1.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat di disimpulkan
bahwa nama lengkap Ibnu Katsir adalah Imamul Jalil Al hafidz Imadud din Abu
Fida’ Isma’il ibnu ‘Amar ibnu Kasir ibnu Dau’ ibnu Kasir ibnu Zar’i Al-Basri
Ad-Dimisyqi. Ibnu Katsir adalah seorang ulama tafsir, ahli Fiqih, ahli hadis,
ahli sejarah serta ulama yang terkenal dengan keilmuannya. Ibnu Katsir
bermadzhab Imam Syafi’i, beliau Lahir di perkampungan di Syam di kota Bashrah,
di bagian timur kota Damaskus yaitu sekitar pada tahun 701 H. Dan beliau meninggal
pada usia ke 73 tahun, yaitu pada hari kamis tanggal 26 Sya’ban tahun 774 H.
2.
Karya-karya beliau adalah Fadha’il al-Qur’an, Tafsir
al-Qur’an al-Azhim, Bidayah wa al-Nihayah, Al-Fusulat fi Sirat al-Rasul,Tabaqat
al-Syafi’iyah, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, Al-Ijtihad bi Talab al-Jihad, Kitab
Ahkam, Al-Ahkam ‘ala Abwab al-Tanbih, Al-Takmil fi Ma’rifat al-Tsiqah wa
al-Du’afa’ wa al-Majahil, Jami’ al-Masanid wa al-Sunan, IkhTishar ‘Ulum
al-Hadits, Takhrij ahadits adillah al-Tanbih li ‘Ulum al-Hadits, Syarah Shahih
Bukhari, dan lain-lain.
3.
Metode dan corak tafsir yang digunakan oleh Ibnu Katsir
dalam kitab tafsirnya Tafsir al-qur’an al-‘Azhim adalah metode Tahlily, dan corakny bi Al-ma’tsur.
4.
Kandungan tafsir Ibnu katsir terhadap Q.S.
Ar-Ra’d/13:11, adalah bahwa setiap hamba Allah ada malaikat yang telah
ditugaskan secara bergiliran baik itu di waktu malam maupun di waktu siang untuk
menjaga, mencatat dan mememlihara hamba-Nya dengan izin Allah. Serta Allah
menjelaskan bahwa keadaan seseorang
tidak akan Allah ubah apabila hamba-Nya tidak mengubahnya dengan izin
Allah Swt.
F.
Daftar Pustaka
Ad-Dimisyqi, Al-Imam Abul Fida’ Isma’il Ibnu Katsir. Tafsir
Ibnu Katsir: Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. ter. Bahrun Abu bakar.Tafsir
Ibnu Katsir Juz 1. Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2000.
Andrian, Bob dan Erisa. Penegertian, Objek, Manfaat
dan Kategori Madzhab Tafsir.” Makalah yang disajikan pada diskusi mahasiswa
Ushuludin Smester V di STAI Sultan Muhammad Syafiudin, Sambas, 8 Oktober 2013.
Amin, Besus Hidayat. Derajat Hadis-Hadis Dalam
Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta : Pustaka Azzam, 2007.
Katsir, Ibnu. Tahzib wa Tartib: Kitab Al-Bidayah wa
Al-Niahayh masa Khulafa’ur Rashidin. Jakarta: Darul Haq, 2002.
Mutmainah. “Musibah Dalam Al-Qur’an: Studi
Komparatif Penafsiran Sayyid Qutb Dan Ibnu Katsir Atas Surah Al-Hadid ayat 22
dan 23”. Skripsi Sarjana. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayattullah
Jakarta, 2010.
Makhtabah Shamela (Versi Digital)
Zabidi, Ahmad dan Ilham Tahir. Metode Penafsiran
Antara Sayyid Qutb: Tentang Ayat-ayat Kemasyarakatan. Jakarta Timur:
Sedaun, 2011.
[1] Al-Imam Abul Fida’ Isma’il
Ibnu Katsir Ad-Dimisyqi, Tafsir Ibnu Katsir: Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
ter. Bahrun Abu bakar,Tafsir Ibnu Katsir Juz 1,(Bandung : Sinar Baru Algensindo,
Tahun 2000), hlm. vii.
[2] Besus Hidayat Amin,
Derajat Hadis-Hadis Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta : Pustaka Azzam, Tahun
2007, hlm iv-x.
[3] Ibid.
[4] Al-Imam Abul Fida’ Isma’il
Ibnu Ksir Ad-Dimisyqi, hlm. vii
[5] Mutmainah, “Musibah
Dalam Al-Qur’an: Studi Komparatif Penafsiran Sayyid Qutb Dan Ibnu Katsir
Atas Surah Al-Hadid ayat 22 dan 2” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayattullah Jakarta, 2010), hlm.20.
[6] Ibid, hlm. 21.
[7] Ibid,
[8] Ibid,
[9] Besus Hidayat Amin, Derajat
Hadis-Hadis..., hlm.x.
[10] Ahmad Zabidi dan Ilham
Tahir, Metode Penafsiran Antara Sayyid Qutb: Tentang Ayat-ayat
Kemasyarakatan (Jakarta Timur: Sedaun, 2011), hlm. 9.
[11] Metode tahlili merupakan
cara menafsirkan kandungan makna dari ayat yaitu dengan menguraikan dan menganalisis secara
keseluruhan. Tahliliy adalah metode yang sering digunakan oleh banyak kalangan
mufasir terdahulu, tahlili adalah model tafsir yang menyajika tafsir secara
sistematis dan rangkaian penyajian mengacu pada urutan penulisan tafsir pada
tafsir klasik. Lihat juga Ahmad Zabidi dan Ilham Tahir, Metode Penafsiran
Antara Sayyid Qutb: Tentang Ayat-ayat Kemasyarakatan (Jakarta Timur:
Sedaun, 2011), hlm.10.
[12] Hadis marfu’ adalah hadis
yang disandarkan langsung pada Rasulullah SAW.
[13] Bob Andrian dan Erisa, Penegertian,
Objek, Manfaat dan Kategori Madzhab Tafsir”(Makalah yang disajikan pada
diskusi mahasiswa Ushuludin Smester V di STAI Sultan Muhammad Syafiudin,
Sambas, 8 Oktober 2013), hlm. 6.
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, (Jakarta: Syaamil Cipta Media, 2005), hlm. 250.
[15] Al-Imam Abul Fida’
Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimisyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 13, hlm.
133-135.
[16] Ibid.
[17] Makhtabah Shamela (Versi
Digital)
[18] Al-Imam Abul Fida’ Isma’il
Ibnu Katsir Ad-Dimisyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 13, hlm. 133-135.
[19] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya..., hlm. 250.
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannyam,
hlm. 250.
[21] Ibid,
[22] Ibid,
[23] Ibid, hlm. 135-143
0 comments:
Post a Comment