Monday, November 21, 2016

Al-Qur'an Surah Ar-Ra'du Penafsiran Ibnu Katsir


 KANDUNGAN AL-QUR’AN SURAH AR-RA’DU AYAT 11
(Perspektif Penafsiran Ibnu Katsir)

Abstrak

Al-Qur’an adalah merupakan petunjuk bagi manusia yang Allah turunkan dimuka bumi ini. Al-Qur’an memiliki kandungan yang sangat luas, sebagiaman menurut ulama bahwa secara umum keandungannya mencakup aspek aqidah, iman, politik, budaya, soaial bahkan ekonomi semuanya terdapat dalam al-Qur’an. Terkait dengan kandungan yang luas para mufasir memiliki kebaragaman dalam menafsirkan al-Qur’an. Keberagaman yang ada adalah karena bedanya metode dan corak yang digunakan oleh masing masing mufasir sejak masa kelasik sampai masa kontemprer sekarang ini dalam menginterpretasikan makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Adapun sala satu ayat al-Qur’an yang ditafsirkan adalah al-Qur’an surah ar-Ra’du ayat 11. Secara umum makna ayat ini adalah Allah menggambarkan tentang perintah Allah kepada hamba-nya unutk berusaha jika hambanya ingin menjadi lebih baik. Adapun para mufasir baik itu masa kelasik sampai sekarang ini dalam menafsirkan ayat ini berbeda-beda diantaranya adalah Ibnu katsir. Ibnu katsir adalah merupakan salah satu mufasir terkenal pada masa kelasik yang karya tafsirnya banyak menajdi rujukan oleh para akademisi dan para guru dalam memahami al-Qur’an. Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Quur’an memiliki metode dan corak denagn ciri khasnya sendiri sehingga berbeda dengan mufasir lainnya.

Kata Kunci: Ibnu Katsir, Metode, Corak, Karya-karya, Tafsir Al-Qur’an surah Ar-Ra’du ayat 11.

A.  Pendahuluan
Upaya mamahami kandungan al-Qur’an telah dilakukan oleh banyak ulama dan tidak pernah berhenti sampai sekarang ini. Hal ini adalah karena merupakan salah satu kemukjizatan al-Qur’an yaitu kandungannya yang sangat luas dan pembahasannya yang mencakup segala aspek kehidupan. Serta dalam memahaminya tidaklah sembarangan dan harus dengan ilmu sebagaimana yang telah dilakukan olah ulama-ulama sebelumnya baik masa awal Islam maupun sampai sekarang ini.
Ilmu dalam memahami al-Qur’an tentunya ada cara dan metode yang digunakan sehingga dari makna ayat yang dijelaskan atau ditafsirkan ini tidak menyimpang dari makna yang sebenarnya. Adapun cara dan metode ini sangatlah beragam dan bermacam-macam. Salah satunya yang menjadi pokok pembahasan adalah metode dengan cara membandingkan beberapa tafsir baik itu masa klasik, pertengahan maupun kontemporer sekrang ini atau lebih dikenal dengan istilah tafsir muqarran. Sedangkan dari sekian banyak mufasir yang menjadi pembahasan dalam penulisan ini adalah tafsirnya Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim.

B.   Biografi Ibnu Katsir
Ibnu katsir adalah seorang ulama muslim yang terkenal, nama lengkapnya adalah Imamul Jalil Al hafidz Imadud din Abu Fida’ Isma’il ibnu ‘Amar ibnu Kasir ibnu Dau’ ibnu Kasir ibnu Zar’i Al-Basri Ad-Dimisyqi. Ibnu kasir selain ulama tafsir beliau juga adalah seorang ulama yang faqih (Ahli Fiqih) yang bermadzhab Imam Syafi’i.[1] Ibnu Katsir dilahirkan di perkampungan di Syam di kota Bashrah, di bagian timur kota Damaskus yaitu sekitar pada tahun 701 H. Adapun ayahnya adalah seorang pendakwah di kota tersebut.[2]
Ayahnya meninggal ketika ia berusia tujuh tahun, setelah ayahnya meninggal Ibnu kasir dengan saudara-saudaranya pindah ke kota Damaskus yaitu tepatnya pada tahun 706 H. Di Damaskus inilah ia banyak belajar ilmu dengan ulama-ulama di kota tersebut, diantaranya yang menjadi guru beliau adalah Bahrudin Al Fazari, Ibnu Sawaid, Al Qasim, Ibnu Asakir, Kamal al-Din Ibnu Qadi Syuhbah dan masih banyak lagi.[3] Selain itu beliau juga belajar dengan Ibnusyi Syahnah, Al Mazi dan guru-guru lainya diantaranya Imam Ibnu Taimiyah.[4] Adapun yang menjadi guru utama Ibnu Katsir adalah Bahrudin al-Farazi dan Kamal al-Din Ibnu Kadi Syuhbah. Dari keduanya beliau banyak belajar tentang hukum  diantaranya beliau mempelajari ilmu fiqih dengan menelaah kitab al-Taubah karya al-Syirazi dan Mukhtashar Ibnu Hajib hingga dalam sejarahnya beliau menjadi rujukan oleh para penguasa dalam persoalan hukum.[5]
Ibnu Katsir dalam mempelajari Al-Qur’an banyak belajar ketika berada dalam bimbingan Ibnu Taimiyah. Sehingga Pada usia sebelas tahun Ibnu Katsir menyelesaikan hafalan al-Qur’an dan memerdalam Ilmu qira’at dan studi tafsir.[6]
Ulama sezamannya banyak yang memberikan penilaian kepada Ibnu Katsir, salah satunya seorang ulama serta sebagai gurunya yaitu Imam al-Dzahabi menyatakan dan memberikan penilaian kepada Ibnu Katsir bahwa beliau adalah seorang imam, mufti, faqih dan muhadits serta mufasir yang kritis.[7]
Ibnu Katsir adalah seorang ulama yang berilmu tinggi dan wawasan ilmu yang luas sehingga ulama sezamannya menyebut beliau dengan sebutan al-Muarrikh karena kepakarannya dalam bidang sejarah. Selanjutnya sepeninggal gurunya (al-Dzahabi) Ibnu Katsir banyak diberikan kepercayaan diantaranya, dipercayakan untuk menggantikan guruya sebagai syaikh di Um al-Shaleh serta beliau juga dipercaya memimpin Dar al-Hadits al-Syarafiyyah setelah al-Subki meninggal dunia.[8]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata bahwa Ibnu Katsir pada akhir hayatnya beliau mengalami kehilangan penglihatan (buta). Adapun dalam   buku “Minhal Ash-Shafi” pengarangnya menjelaksan bahwa pada akhirnya Ibnu Katsir meninggal dan kembali kepada Allah Swt. pada usia ke 73 tahun, yaitu pada hari kamis tanggal 26 Sya’ban tahun 774 H.[9]

C.  Metode dan Corak  Penafsiran
Metode penafsiran adalah cara-cara atau langkah-langkah yang terusun sistematis serta merupakan sebuah alat atau sarana untuk menguraikan dan mengulas materi yang terkandung dalam al-Qur’an, khususnya untuk penulisan tafsir al-Qur’an sehingga benar-benar bisa mengurai setiap makna yang terkandung dalam al-Qur’an.[10]
Ibnu Katsir sebagaimana mufasir yang lain dalam menafsirkan al-Qur’an juga menggunakan metode dan cara tersendiri yang membedakan karyanya dengan karya-karya ulama yang lain. Adapun metode yang digunakan beliau adalah metode tahliliy (analitis).[11]
Metode yang digunakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya memiliki ciri khas tersendiri dari tafsir-tafsir yang lain. diantaranya metode yang beliau tempuh adalah sebagai berikut:
1.    Pada mulanya mengetengahkan ayat, lalu menafsirkan dengan ungkapan yang mudah dan ringkas.
2.    Memperjelas ayat dengan ayat yang lain (Al-Qur’an dengan Al-Qur’an).
3.    Menjelaskan ayat dengan hadis-hadis yang berpredikat marfu’[12].
4.    Kemudian diiringi dengan berbagai pendapat tentang ayat tersebut baik itu dari para sahabat para tabi’in dan ulama salaf setelahnya serta mentarjihnya, apakah ia shahih atau dha’if.
5.    Serta mengutip dari tafsir-tafsir ulama lainnya, misalnya Tafsir Ibnu Jarir, Ibnu Abu Hitam, Tafsir Ibnu Atiyyah, dan ulama lainnya.
6.    Memberikan peringatan agar tetap berwaspada akan kisah-kisah yang ada dalam tafsirnya apakah kisah itu termasuk kisah israilliyat yang mungkar.
Ibnu katsir dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah termasuk dalam tafsir bi al-ma’tsur. Artinya dalam penfsiran Ibnu katsir menafsirkan ayat al-Qur’an dengan menggunakan riwayat (ma’tsur). Corak yang digunakan dapat dilihat dari metode yang digunakan diantaranya dalam tafsirnya beliau menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadis Rasulullah Saw., al-Qur’an dengan pendapat-pendapat ulama, al-Qur’an dengan riwayat-riwayat (cerita-cerita israiliyat).[13]

D.  Penafsiran Ayat Al-Qur’an (Q.S. Ar-Ra’d/13: 11)
Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Qur’an sebagaimana dibahas di atas, dapat kita lihat dari tafsir beliau terhadap Firman Allah Q.S.Ar-Ra’du/13: 11 berikut ini:
Artinya :Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[14]

Ibnu katsir dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim yaitu dimana beliau menjelaskan kandungan makna dari Q.S. Ar-Ra’du/13:11, sebenarnya sangat berkaitan dengan ayat sebelumnya yaitu Q.S. Ar-Ra’d/13:10. Adapun kandungan ayat ini menjelaskan tentang apa yang kita sembunyikan dan kita ucapakan, serta tentang hambanya yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan di siang hari pasti Allah ketahui. [15]
Hubungan kandungan makna antara Q.S. Ar-Ra’d/13: 10 dengan Q.S. Ar-Ra’d/13: 11 adalah bahwa apapun yang kita lakukan di dunia ini baik itu disembunyikan maupun dinyatakan baik itu di siang hari maka sesungguhnya Allah Swt. maha tahu karena ada malaikat yang telah ditugaskan untuk menjaga kita baik di depan maupun di belakang hamba-Nya.
Tafsir Ibnu Katsir dalam Q.S. A-Ra’d/13:11 adalah sebagaimana berikut ini[16]:
وقوله: { لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ } أي: للعبد ملائكة يتعاقبون عليه، حَرَس بالليل وحَرَس بالنهار، يحفظونه من الأسواء (5) والحادثات، كما يتعاقب ملائكة آخرون لحفظ الأعمال من خير أو شر، ملائكة بالليل وملائكة بالنهار، فاثنان عن اليمين و[عن] (6) الشمال يكتبان الأعمال، صاحب اليمين يكتب الحسنات، وصاحب الشمال يكتب السيئات، وملكان آخران يحفظانه ويحرسانه، واحدا (7) من ورائه وآخر من قدامه، فهو بين أربعة أملاك بالنهار، وأربعة آخرين بالليل بدلا حافظان وكاتبان، كما جاء في الصحيح: "يتعاقبون فيكم ملائكة بالليل وملائكة بالنهار، ويجتمعون في صلاة الصبح وصلاة العصر، فيصعد إليه الذين باتوا فيكم فيسألهم وهو أعلم بكم:[17]
Demikianlah tafsir Ibnu Katsir dalam Q.S. Ar-Ra’d/13:11, yang dikutip dalam Makhtabah Shamela, selanjutnya bisa juga dilihat dalam tafsirnya Ibnu Katsir yang dikutip dari terjemahan dari kitab aslinya, sebagaimana berikut ini[18], Firman Allah Swt. Q.S. Ar-Ra’d/13: 11:
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.[19]

Ibnu Katsir dalam tafsirnya dalam Q.S. Ar-Ra’d/13:11 ini, beliau menafsirkan bahwa bagi setiap manusia selalu ada malaikat yang menjaga hamba-Nya Allah secara bergiliran, ada yang di malam hari ada pula yang di siang hari dari hal yang buruk dan hal dapat mencelakakan. Sebagaimana bergiliran pula kepada malaikat-malaikat lainnya yang  bertugas mencatat semua amal baik dan amal buruknya, mereka menjaganya secara bergiliran. Ada yang di malam hari ada yang di siang hari, ada di sebelah kanan dan di sebelah kirinya. Malaikat yang di sebelah kanan mencatat amal baiknya dan yang sebelah kirinya mencatat amal buruknya.
Selain itu ada dua malaikat lain yang bertugas menjaga dan memeliharanya, ada yang di belakang dan ada yang di depan. Dengan demikian, seorang hamba dijaga oleh empat malaikat di siang dan empat malaikat di malam hari. Sebagiaman disebutkan di dalam hadis sahih:

 Artinya :Malaikat-malaikat di malam hari dan malaikat-malaikat di siang hari silih berganti menjaga kalian, dan mereka berkumpul di waktu shalat subuh dan shalat ashar. Maka naiklah para malaikat yang menajaga kalaian di malam hari, Tuhan Yang Maha Mengetahui keadaan kalian menanyai mereka, “Dalam keadaan apakah kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?” Mereka (para malaikat malam hari menjawab, “Kami datangi mereka sedang mereka dalam keadaan shalat dan kami tinggalkan mereka sedang dalam keadaan shalat.” 
Di dalam hadis lain disebutkan:

Artinya :Sesungguhnya bersama kalian selalu ada malaikat-malaikat yang tidak pernah berpisah dengan kalian, terkecuali di saat kalian sedang berada di kakus dan ketika kalian sedang bersetubuh, maka malulah kalian kepada mereka dan hormatilah mereka.

Ali bin Abu Talhah  telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas Sehubungan dengan makna Firman-Nya Q.S. Ar-Ra’d/13:11. yang bergiliran dari Allah adalah para malaikat-Nya. Ikhrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah Swt.:
Artinya: Mereka menjaganya atas perintah Allah.[20]

Para malaikat ditugaskan untuk menjaganya di depan dan di belakangnya. Apabila takdir Allah telah memutuskan sesuatu terhadap hamba-Nya yang bersangkutan, maka para malaikat itu menjauh darinya.
Mujahid mengatakan bahwa tiada seorang hamba pun melainkan ada malaikat yang ditugaskan untuk menjaganya di saat ia tidur dan di saat ia terbangun, yakni menjaganya dari kejahatan jin, manusia, dan hewan buas. Tiada suatu makhluk itu yang datang kepada hamba yang bersangkutan dengan tujuan untuk memudharatkannya, melainkan malaikat penajaga itu berkata kepadanya “Pergilah ke belakangmu!” Kecuali apabila ada sesuatu yang titakdirkan oleh Allah, maka berulah dapat mengenainya. Imam Abu Ja’far ibnu Jarir sehubungan dengan hal ini telah meriwayatkan sebuah hadis garib. Ia mengatakan, telah mencritakan kepadaku Al-Musanna, telah mencdritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdus Salam ibnu Saleh Al-Qusyairi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Jarir dari Hammad ibnu Salamah, dari Abdul Hummaid ibnu Ja’far, dari Kinanah Al-Adawi yang mengatakan bahwa Usman ibnu Affan masuk ke dalam rumah Rasulullah Saw., lalu ia bersabda, “Seorang Malaikat berada di sebelah kananmu yang mencatat amal baikmu, ia adalah kepala (Pemimpin) dari malaikat yang ada di sebelah kirimu. Apabila kamu mengerjakan sesuatu kebaikan, maka dicatatlah sepuluh kebaikan, dan apabila kamu mengerjakan suatu keburukan (dosa), maka malaikat yang ada di sebelah kirimu berkata kepada malaikat yang ada di sebelah kananmu, ‘Bolehkah aku mencatatnya?’ malaikat yang di sebelah kanan menjawab, ‘ Jangan, barangkali dia memohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya.’ Malaikat yang ada di sebelah kiri meminta izin kepada yang ada di sebelah kanan sebanyak tiga kali. Dan apabila yang di sebelah kanan berkata, ‘Catatlah, semoga Allah membebaskan kita darinya. Seburuk-buruk orang yang kita temani adalah orang yang sedikit perasaan muraqabah-Nya (diawasi oleh Allah) dan sedikit malunya terhadap kita.’
Sebagaimana firman Allah Q.S. Qaf/50:18:
Artinya :Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.[21]

Adapun tafsir Ibnu Katsir terhadap Q.S Ar-Ra’d/13:11, sebagaimana berikut ini:
Artinya:Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.[22]
Tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa, Hal ini disebutkan dalam suatu hadis yang berpredikat marfu’. Al-Hafidz Muhammad ibnu Usman ibnu Abu Syaibah mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Sifatul ‘Arsy: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abu Hanifah Al-Yamani Al-Ansari, dari Umair ibnu Abdul Malik yang menceritakan bahwa Khalifah Ali ibnu Abu Talib berkhotbah kepada kami di atas mimbar Kufah. Antara lain ia mengatakan, “Apabila aku berdiam diri tidak berbicara kepada Rasulullah Saw., maka beliaulah yang memulainya kepadaku; dan apabila aku menanyakan suatu berita kepadanya, dia menceritakan kepadaku. Dan dia menceritakan kepadaku suatu hadis dari Allah Swt. Yang menyebutkan:

Artinya:Tuhanmu berfirman,’Demi Kemulian, Keagungan, dan Ketinggian-Ku di atas ‘Arsy tiada suatu (penduduk) kota pun, dan tiada pula suatu ahli bait pun yang tadinya mengerjakan hal yang Aku benci yaitu berbuat durhaka terhadap-Ku, kemudian mereka berpaling dari perbuatan durhaka itu menuju  kepada perbuatan yang Aku sukai, yaitu taat kepada-Ku, melainkan Aku palingkan dari mereka hal yang tidak mereka sukai, yaitu azab-Ku; dan Aku berikan kepada mereka hal yang mereka sukai, yaitu rahmat-Ku’.”[23]

Demikianlah tafsir Ibnu Katsir yang menjelaskan kandungan makna terhadap Q.S Ar-Ra’d/13:11, dimana kandungan dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Allah mengabarkan kepada hambanya bahwa bagi setiap hamba-Nya Allah ada malaikat yang telah ditugaskan secara bergiliran baik itu di waktu malam maupun di waktu siang. Adapun malaikat-malikat-Nya ada yang di depan maupun di belakang, di kanan maupun di kiri, di atas maupun di bawah. Yang mana tugas mereka adalah untuk menjaga, mencatat dan memelihara hamba-Nya agar terhindar dari hal yang dengan izin Allah bisa mencelakan dan menyebabkan hal buruk terhadap hamba-Nya.
Kandungan lainnya adalah bahwa Allah mengabarkan, Allah tidak akan mengubah keadaan hamba-Nya apabila hamba-Nya tidak mengubah keadaan mereka sendiri dengan izin Allah. Artinya dari apa yang telah ditetapkan bagi hamba-Nya ini ada sistem yang telah ditatapkan oleh Allah Swt., serta sistem itu juga merupakan bagian dari takdir yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.

E.   Kesimpulan
1.    Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat di disimpulkan bahwa nama lengkap Ibnu Katsir adalah Imamul Jalil Al hafidz Imadud din Abu Fida’ Isma’il ibnu ‘Amar ibnu Kasir ibnu Dau’ ibnu Kasir ibnu Zar’i Al-Basri Ad-Dimisyqi. Ibnu Katsir adalah seorang ulama tafsir, ahli Fiqih, ahli hadis, ahli sejarah serta ulama yang terkenal dengan keilmuannya. Ibnu Katsir bermadzhab Imam Syafi’i, beliau Lahir di perkampungan di Syam di kota Bashrah, di bagian timur kota Damaskus yaitu sekitar pada tahun 701 H. Dan beliau meninggal pada usia ke 73 tahun, yaitu pada hari kamis tanggal 26 Sya’ban tahun 774 H.
2.    Karya-karya beliau adalah Fadha’il al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Bidayah wa al-Nihayah, Al-Fusulat fi Sirat al-Rasul,Tabaqat al-Syafi’iyah, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, Al-Ijtihad bi Talab al-Jihad, Kitab Ahkam, Al-Ahkam ‘ala Abwab al-Tanbih, Al-Takmil fi Ma’rifat al-Tsiqah wa al-Du’afa’ wa al-Majahil, Jami’ al-Masanid wa al-Sunan, IkhTishar ‘Ulum al-Hadits, Takhrij ahadits adillah al-Tanbih li ‘Ulum al-Hadits, Syarah Shahih Bukhari, dan lain-lain.
3.    Metode dan corak tafsir yang digunakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya Tafsir al-qur’an al-‘Azhim  adalah metode Tahlily, dan corakny bi Al-ma’tsur.
4.    Kandungan tafsir Ibnu katsir terhadap Q.S. Ar-Ra’d/13:11, adalah bahwa setiap hamba Allah ada malaikat yang telah ditugaskan secara bergiliran baik itu di waktu malam maupun di waktu siang untuk menjaga, mencatat dan mememlihara hamba-Nya dengan izin Allah. Serta Allah menjelaskan bahwa keadaan seseorang  tidak akan Allah ubah apabila hamba-Nya tidak mengubahnya dengan izin Allah Swt.

F.   Daftar Pustaka

Ad-Dimisyqi, Al-Imam Abul Fida’ Isma’il Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir: Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. ter. Bahrun Abu bakar.Tafsir Ibnu Katsir Juz 1. Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2000.
Andrian, Bob dan Erisa. Penegertian, Objek, Manfaat dan Kategori Madzhab Tafsir.” Makalah yang disajikan pada diskusi mahasiswa Ushuludin Smester V di STAI Sultan Muhammad Syafiudin, Sambas, 8 Oktober 2013.
Amin, Besus Hidayat. Derajat Hadis-Hadis Dalam Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta : Pustaka Azzam, 2007.
Katsir, Ibnu. Tahzib wa Tartib: Kitab Al-Bidayah wa Al-Niahayh masa Khulafa’ur Rashidin. Jakarta: Darul Haq, 2002.
Mutmainah. “Musibah Dalam Al-Qur’an: Studi Komparatif Penafsiran Sayyid Qutb Dan Ibnu Katsir Atas Surah Al-Hadid ayat 22 dan 23”. Skripsi Sarjana. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayattullah Jakarta, 2010.
Makhtabah Shamela (Versi Digital)
Zabidi, Ahmad dan Ilham Tahir. Metode Penafsiran Antara Sayyid Qutb: Tentang Ayat-ayat Kemasyarakatan. Jakarta Timur: Sedaun, 2011.





[1] Al-Imam Abul Fida’ Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimisyqi, Tafsir Ibnu Katsir: Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, ter. Bahrun Abu bakar,Tafsir Ibnu Katsir Juz 1,(Bandung : Sinar Baru Algensindo, Tahun 2000), hlm. vii.
[2] Besus Hidayat Amin, Derajat Hadis-Hadis Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta : Pustaka Azzam, Tahun 2007, hlm iv-x.
[3] Ibid.
[4] Al-Imam Abul Fida’ Isma’il Ibnu Ksir Ad-Dimisyqi, hlm. vii
[5] Mutmainah, “Musibah Dalam Al-Qur’an: Studi Komparatif Penafsiran Sayyid Qutb Dan Ibnu Katsir Atas Surah Al-Hadid ayat 22 dan 2” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayattullah Jakarta, 2010), hlm.20.
[6] Ibid, hlm. 21.
[7] Ibid,
[8] Ibid,
[9] Besus Hidayat Amin, Derajat Hadis-Hadis..., hlm.x.
[10] Ahmad Zabidi dan Ilham Tahir, Metode Penafsiran Antara Sayyid Qutb: Tentang Ayat-ayat Kemasyarakatan (Jakarta Timur: Sedaun, 2011), hlm. 9.
[11] Metode tahlili merupakan cara menafsirkan kandungan makna dari ayat yaitu  dengan menguraikan dan menganalisis secara keseluruhan. Tahliliy adalah metode yang sering digunakan oleh banyak kalangan mufasir terdahulu, tahlili adalah model tafsir yang menyajika tafsir secara sistematis dan rangkaian penyajian mengacu pada urutan penulisan tafsir pada tafsir klasik. Lihat juga Ahmad Zabidi dan Ilham Tahir, Metode Penafsiran Antara Sayyid Qutb: Tentang Ayat-ayat Kemasyarakatan (Jakarta Timur: Sedaun, 2011), hlm.10.
[12] Hadis marfu’ adalah hadis yang disandarkan langsung pada Rasulullah SAW.
[13] Bob Andrian dan Erisa, Penegertian, Objek, Manfaat dan Kategori Madzhab Tafsir”(Makalah yang disajikan pada diskusi mahasiswa Ushuludin Smester V di STAI Sultan Muhammad Syafiudin, Sambas, 8 Oktober 2013), hlm. 6.
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Syaamil Cipta Media, 2005), hlm. 250.
[15] Al-Imam Abul Fida’ Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimisyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 13, hlm. 133-135.
[16] Ibid.
[17] Makhtabah Shamela (Versi Digital)
[18] Al-Imam Abul Fida’ Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimisyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 13, hlm. 133-135.
[19] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., hlm. 250.
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannyam, hlm. 250.
[21] Ibid,
[22] Ibid,
[23] Ibid, hlm. 135-143

0 comments:

Post a Comment

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com