Friday, November 25, 2016

Lahirnya Filsafat Nilai Sebagai Kajian

Filsafat sebagai Ilmu
Pada awalnya filsafat lahir dari pemikiran manusia terhadap kejadian-kejadian yang ada di sekelilingnya baik itu kejadian dari manusia itu sendiri maupun fenomena alam yang ada. Kemudian mulailah manusia memikirkannya dan mencari tahu akan kejadian tersebut. Filsafat sebagai ilmu disini adalah bahwa filsafat dijadikan dasar munculnya kajian-kajian terhadap alam ini sehingga filsafat ini mulai dikenal menjadi sebuah kajian keilmuan atau dikenal dengan ”Filsafat Sebagai Ilmu”. Sebagaimana menurut syarif hidayatullah dalam jurnalnya ( Jurnal Filsafat Vol 1, Nomor 2,Agustus 2006) bahwa filsafat adalah suatu ilmu yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran.
Dari pengertian filsafat diatas jelas sekali dimana filsafat ini adalah sebuah ilmu yang lahir dari ketidakjelasan terhadap kejadian atau fenomena yang ada di alam jagat raya ini sehingga lahirlah pertanyaan di dalam diri manusia itu sendiri. Menurut Asmoro Achmadi (2009,4) bahwa filsafat dikatakan sebagai ilmu adalah karena didalam pengertian filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu: Bagaimanakah (Deskriptif / Penggambaran), Mengapakah (Kausalitas / Sebab-akibat), Ke manakah ( Normatif / Pedoman, hukum, pegangan), Apakah ( mengetahui hal yang sifatnya sangat umum, universal, dan Abstark).
Menurut Abdul Razak (2002: 33) bahwa pada awalnya filsafat lahir karena ada beberapa hal diantaranya, rasa  takjub, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan.
Rasa Takjub
Setiap manusia pada umumnya memiliki akal atau rasio untuk memikirkan dan berfikir akan sesuatu. Hal ini karena manusia diciptakan dengan diberi otak untuk berfikir. Dari akal ini menusia mulai memikirkan, memperhatikan, mengenal akan kejadian yang melahirkan keheranan dan ketakjuban manusia terhadap kejadian alam ini. Misalnya setelah manusia memperhatikan proses penciptaan manusia maka lahir rasa takjub manusia terhadap apa yang dilihatnya. Hal ini karena keterbatasan manusia untuk memikirkannya dengan akalnya maka timbullah filsafat pada diri manusia itu untuk mengetahui lebih dalam lagi akan kejadian tersebut. Contoh lain misalnya observasi dan pengamatan secara mendalam yang bermula dari insting berkembang menuju ke indra dan dilanjutkan dengan rasionya secara lebih serius terhadap realitas yang kongkret menuju pada aspek-aspek realitas yang abstark. Sehingga pada kondisi dan potensi seperti ini menurut Abdul Razak dalam bukunya (2002: 4) manusia berfilsafat. Jadi dari pengamatan kemudian dipikirkan yang dilakukan secara mendalam yang bermula dari rasa takjub ini akhirnya melahirkan manusia untuk berfilsafat.
Ketidakpuasan
Selain dari rasa takjub diatas yang menyebabkan manusia berfilsafat ada juga perasaan yang lain yang memberikan dorongan sehingga manusia berfilsafat, diantaranya adalah karena adanya ketidakpuasan dalam diri manusia itu sendiri. Berawal ketika manusia  baru lahir, insting dan indra yang merupakan sarana praktis dalam memanifestasikan rasanya telah menjadikan manusia dengan ketakjuban pada  kehebatan ekosistem yang dalam situasi dan kondisi tertentu dapat merusak bahkan membinasakan kemudian mulailah berkembangnya mitos-mitos dan mite baik itu pada diri sendiri  maupun pada lingkungan hidup dan kehidupannya (Abdul Razak, 2002: 34). Ketika kita kaji ulang dari pembahasan diatas maka jelas, bahwa kejadian-kejadian yang ada disekeliling kita ini menurut orang-orang yang hidup jauh sebelumnya sudah memikirkan hal yang menakjubkan. Tetapi tidak hanya berhenti disitu saja pemikiran mereka terhadap kejadian yang menakjubkan itu, beriringan dengan waktu yang cukup lama kemudian dilanjutkan lagi dengan rasa yang membuat mereka bingung atau kita kenal dengan nama “Ketidakpuasan”. Berawal dari ketidakpuasan ini juga maka mulai manusia memikirkan hal-hal yang terjadi disekelilingnya, yang mana kejadian ini belum mampu mereka pikirkan sehingga timbul rasa ketidakpuasan dan banyak lahir pertanyaan dari dalam dirinya (5W+1H).
Hasrat Bertanya
Manusia adalah makhluk tuhan diciptakan dengan kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Dimana manusia memilki potensi yang sangat berharga dibanding dengan materi lainnya. Potensi itu adalah daya rasio (kemampuan berfikir) manusia untuk memikirkan dan memahami makna atau hal yang terjadi disekelilingnya. Bahkan sebagian ahli mengatakan bahwa daya ini mampu berkomunikasi dengan hal yang luar biasa. Daya luar biasa inilah yang disebut dengan istilah “rasional agant”(Abdul Razak, 2002: 36). Maka dari potensi yang dimiliki manusia inilah lahir banyak pertanyaan ketika melihat kejadian atau fenomena yang ada dalam alam semesta ini. Jadi tidak dapat  dipungkiri lagi bahwa adanya keinginan bertanya atau hasrat bertanya dalam diri manusia ketika ada hal yang tidak puas ia pikirkan terhadap kejadian-kejadian dalam alam semesta ini yang menakjubkan.
Keraguan
Keraguan di sini adalah karena kebingungan yang ada dalam diri manusia itu sendiri karena ketidakjelasan dengan kejadian yang ada di sekelilingnya sehingga timbulnya pertanyaan-pertanyaan. Sebenarnya pertanyaan ini yang melatarbelakangi timbulnya hasrat dalam diri manusia untuk memperoleh kejelasan, keterangan tentang hakikat sesuatu yang meragukan, ketidakpastian dirinya yang dalam keadaan tertentu sehingga diombang-ambing oleh keadaan sekelilingnya dan kebingungan terhadap kemampuan dirinya. Maka dari itu selain dari rasa takjub, ketidakpuasan, hasrat bertanya di atas maka hal terakhir yang melahirkan manusia berfilsafat adalah keraguan yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Karena dengan adanya keraguan ini dapat mendorong manusia memikirkan hal yang diragukannya tersebut atau dikenal dengan manusia berfilsafat.
Dari penjelasan di atas tentang awal lahirnya filsafat dan pengertian filsafat itu sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa sebagaimana filsafat sebagai induk dari semua ilmu-ilmu rasional  dengan prosedur atau metode-metode tertentu, tersistematika sehingga dapat tersusun ilmu-ilmu yang mandiri. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang mengkaji kejadian atau fenomena alam ini beserta isinya dengan tujuan untuk mencari hakikat dari sebuah kebenaran fenomena tersebut, maka inilah yang dikatakan filsafat sebagai ilmu.
Filsafat Sebagai Pandangan Hidup
Manusia adalah makhluk tuhan tang tidak pernah terlepas dari bagaimana mereka berfikir dengan akalnya yang telah diciptakan oleh Tuhannya. Sebagaiman menurut para ahli berfilsafah adalah berfikir secara mendalam dengan sungguh-sungguh sampai ke akarnya terhadap suatu kebenaran atau mencari kebenaran atas sesuatu. Sedangkan pandangan hidup atau yang sering dikenal dengan istilah weltanschauung (Jerman) dan Word View atau Word Look (pandangan dunia) dalam Bahasa Inggris. Weltanschauung adalah pandangan tentang dunia, pengertian tentang realitas sebagai suatu keseluruhan, pandangan umum tentang kosmos, baik mengenai soal hakikat, nilai, arti tujuan dunia maupun tentang hidup manusia (Abdul Razak, 2002: 38).
Jadi dapat disimpulkan mengapa filsafat diartikan sebagai pandangan hidup, sebagaimana menurut Asmoro Achmadi (2009: 7) bahwa hal ini adalah karena pada hakikatnya  filsafat bersumber dari hakikat kodrat pribadi manusia itu sendiri ( sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk Tuhan). Dan filsafat merupakan dasar penjelmaan manusia secara total (menyeluruh) dan sentral sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk monodualisme (manusia secara kodrat terdiri dari jiwa dan raga).
Dari penjelasan di atas dapat diketahui mengapa manusia merupakan sumber filsafat dalam filsafat sebagai pandangan hidup, jawabannya  adalah karena filsafat itu tidak pernah terlepas dari hakikat manusia itu sendiri. Dari hakikat inilah maka lahir beberapa macam filsafat diantaranya, Filsafat Biologi (unsur raga manusia), Filsafat Keindahan (Estetika), Filsafat Antrofologi (kesatuan jiwa dan raga), Filsafat Ketuhanan ( kedudukan sebagai makhluk Tuhan), Filsafat Sosial ( Makhluk sosial), Filsafat Berfikir (Logika), Filsafat Tingkah laku (Etika), Filsafat Psikologis, Filsafat Nilai (Aksiologi), Filsafat Negara, Filsafat Agama (Asmoro Achmadi, 2009: 8).
Adapun maksud dari filsafat sebagai pandangan hidup secara filosofis adalah sebagai berikut:
1.    Filsafat merupakan pemahaman mengenai realitas secara keutuhan; konsepsi, atau perspektif seseorang tentang kehidupan dan segala sesuatu sebagai totalitas.
2.    Sebagai sistem prinsip-prinsip, pandangan-pandangan, dan keyakinan-keyakinan.
3.    Filsafat menentukan arah kegiatan individu, komunitas sosial, kelas, maupun masyarakat.
Jika dilihat dari penjelasan di atas maka inilah yang dimaksud dari filsafat sebagai pandangan hidup, dimana pada umumnya ia menjadi dasar setiap tindakan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, dan juga untuk menyelesaikan persoalan-persoalan. Dan pandangan hidup ini akan tercermin dalam sikap hidup atau cara hidup apabila manusia memikirkan dirinya secara total atau menyeluruh. Adapun klasifikasi secara global dari filsafat sebagai pandangan hidup menurut Abdul Razak (2002) bahwa pandangan hidup manusia dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu: Materialisme (berupa keteragan-keterangan) dan Idealisme (teori), dan dalam dua jenis, yaitu: Prailmiah (pendekatan tidak dengan ilmiah ) dan Ilmiah (pendekatan secara ilmiah), dan dalam dua model, yaitu: rasional (masuk akal) dan nonrasional atau irasional (tidak masuk akal). Demikianlah mengapa filsafat dikatakan sebagai pandangan hidup dan pembagian filsafat itu sendiri.
Filsafat Sebagai Metode ( Methode Of Thougth)
Filsafat sebagai metode ini kita kaji mulai dari berfilsafatnya manusia yang mana tidak lepas dari kodrat manusia. Kodrat manusia adalah sebagia makhluk yang selalu menggunakan akalnya untuk memikirkan segala sesuatu sehingga filsafat ini menjadi pandangan manusia itu sendiri terhadap diriny, dunia ini dan kehidupannya sendiri. Kemudian akal digunakan untuk memikirkan dan mencari hakikat dari segala sesuatu tersebut. Tetapi untuk memikirkan segala tersebut tentunya ada tahapan-tahapan atau cara yang digunakan sehingga bisa sampai ketahap kebenaran dari hakikat tersebut. Adapun cara atau metode manusia berfilsafat berawal dari manusia berfikir. Sebagaimana menurut Asmoro Achmadi (Filsafat Umum: 2009) bahwa bagaimana seorang filosof (ahli pikir) itu bekerja? menurutnya seorang filosof bekerja tidak berbeda dengan bekerjanya sebuah pabrik yang mana filosof bekerja dengan berfikir dengan mengadakan kefilsafatan sedangkan sebuah pabrik itu bekerja dengan menghasilkan proses produksi.
Dari pandangan Asmoro di atas dapat kita katakan bahwa filsafat sebagai metode ini berawal dari berfikir (Lihat Abdul Razak, 2002: 41). Kemudian berfikir (ilmiah) ini manusia juga mulai merenungkan apa yang di fikirkannya. Setelah itu maka lahirnya konsep-konsep yang logis dari hasil perenungan tersebut, adapun konsep yang dihasilkan harus mampu memberi penjelasan tentang pandangan dunia dan inilah yang di katakan kerjanya filosof. Kemudian proses kerja dari berfilsafat ada dua perangkat berfikir yang mampu menghasilkan kesimpulan, di antaranya adalah analisis dan sintesis.
Analisis
Analisis disini maksudnya adalah melakukan pemeriksaan secara konsepsional terhadap makna dan istilah yang kita pergunakan dalam pernyataan yang buat. Atau merincikan istilah atau pernyataan-pernyataan pada bagiannya sehingga kita bisa melakukan pemeriksaan atas makna yang terkandung. Contohnya: Siapa yang menciptakan alam ini?
Sintesis
Sintesis adalah mencari kesatuan didalam keragaman. Maksudnya, mengumpulkan suatu pengetahuan yang bisa diperoleh. Karena dalam berfilosof apabila lebih banyak keterangan yang diperoleh maka lebih baik hasil yang di peroleh dan lebih akurat. Adapun dalam mencari kesatuan (bersintesis) kita menggunakan beberapa alat diantara logika, induksi, deduksi, analogi, dan komparatif (Asmoro Achmad, 2009: 21).
Demikianlah perangkat berfikir dari seorang filosof yaitu secara analisis dan sintesis. Kemudian dari perangkat tersebut tentunya ada tahapan sehingga menghasilkan konsep-konsep umum yang bisa dibuktikan baik secara logika atau empiris. Berikut ini langkah-langkah atau tahapan yang digunakan.
a.       Pengumpulan fakta dalam bentuk observasi, eksperimen, atau lainnya.
b.      Merumuskan dalil sementara (Hipotesis Ilmiah)
c.       Mengadakan verifikasi (pengukuhan), dan pembuktian secara empiris.
d.      Menetapkan teori dan hukum Ilmiah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat sebagai metode berawal dari berfikir secara ilmiah kemudian dilanjutkan dengan tahapan-tahapan dalam berfikir sehingga lahirlah sebuah kesimpulan dari hasil berfikir. Adapun hasil ini merupakan konsep-konsep umum yang ilmiah yang mampu memberikan penjelaskan tentang pandangan dunia, serta mampu dibuktikan dengan logika dan pengalaman empiris.
Metode sering diartikan sebagai jalan berfikir dalam bidang keilmuan. Adapun metode yang digunakan dalam berfilsafat adalah sebagai berikut (Asmoro Achmadi, 2009: 22):
1.    Metode kritis, yaitu dengan menganalisis istilah dan pendapat, kemudian dengan mengajukan pertanyaan secara terus menerus sampai ke hakikat yang di tanyakan.
2.    Metode Intuitif, yaitu dengan melakukan introspeksi intuitif, dan dengan memakai simbol-simbol.
3.    Metode analitis abstraktif, yaitu dengan jalan memisah-misahkan atau menganalisis di dalam angan-angan (di dalam fikiran) hingga sampai hakikat (ditemukan jawabannya).
Dari penjelasan metode-metode yang sering digunakan dalam jalan berfikir ilmiah atau berfilsafat itu terdiri dari tiga metode yang kami paparkan di antaranya, metode kritis, metode intuitif, dan metode analitis absraktif.

0 comments:

Post a Comment

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com