Pada
awalnya filsafat lahir dari pemikiran manusia terhadap kejadian-kejadian yang
ada di sekelilingnya baik itu kejadian dari manusia itu sendiri maupun fenomena
alam yang ada. Kemudian mulailah manusia memikirkannya dan mencari tahu akan
kejadian tersebut. Filsafat sebagai ilmu disini adalah bahwa filsafat dijadikan
dasar munculnya kajian-kajian terhadap alam ini sehingga filsafat ini mulai
dikenal menjadi sebuah kajian keilmuan atau dikenal dengan ”Filsafat Sebagai
Ilmu”. Sebagaimana menurut syarif hidayatullah dalam jurnalnya ( Jurnal
Filsafat Vol 1, Nomor 2,Agustus 2006) bahwa filsafat adalah suatu ilmu yang
menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran.
Dari
pengertian filsafat diatas jelas sekali dimana filsafat ini adalah sebuah ilmu yang
lahir dari ketidakjelasan terhadap kejadian atau fenomena yang ada di alam
jagat raya ini sehingga lahirlah pertanyaan di dalam diri manusia itu sendiri. Menurut
Asmoro Achmadi (2009,4) bahwa filsafat dikatakan sebagai ilmu adalah karena didalam
pengertian filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu: Bagaimanakah
(Deskriptif / Penggambaran), Mengapakah (Kausalitas / Sebab-akibat), Ke manakah
( Normatif / Pedoman, hukum, pegangan), Apakah ( mengetahui hal yang sifatnya
sangat umum, universal, dan Abstark).
Menurut
Abdul Razak (2002: 33) bahwa pada awalnya filsafat lahir karena ada beberapa
hal diantaranya, rasa takjub,
ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan.
Rasa Takjub
Setiap
manusia pada umumnya memiliki akal atau rasio untuk memikirkan dan berfikir
akan sesuatu. Hal ini karena manusia diciptakan dengan diberi otak untuk
berfikir. Dari akal ini menusia mulai memikirkan, memperhatikan, mengenal akan
kejadian yang melahirkan keheranan dan ketakjuban manusia terhadap kejadian
alam ini. Misalnya setelah manusia memperhatikan proses penciptaan manusia maka
lahir rasa takjub manusia terhadap apa yang dilihatnya. Hal ini karena
keterbatasan manusia untuk memikirkannya dengan akalnya maka timbullah filsafat
pada diri manusia itu untuk mengetahui lebih dalam lagi akan kejadian tersebut.
Contoh lain misalnya observasi dan pengamatan secara mendalam yang bermula dari
insting berkembang menuju ke indra dan dilanjutkan dengan rasionya secara lebih
serius terhadap realitas yang kongkret menuju pada aspek-aspek realitas yang
abstark. Sehingga pada kondisi dan potensi seperti ini menurut Abdul Razak
dalam bukunya (2002: 4) manusia berfilsafat. Jadi dari pengamatan kemudian
dipikirkan yang dilakukan secara mendalam yang bermula dari rasa takjub ini
akhirnya melahirkan manusia untuk berfilsafat.
Ketidakpuasan
Selain
dari rasa takjub diatas yang menyebabkan manusia berfilsafat ada juga perasaan
yang lain yang memberikan dorongan sehingga manusia berfilsafat, diantaranya
adalah karena adanya ketidakpuasan dalam diri manusia itu sendiri. Berawal ketika
manusia baru lahir, insting dan indra
yang merupakan sarana praktis dalam memanifestasikan rasanya telah menjadikan
manusia dengan ketakjuban pada kehebatan
ekosistem yang dalam situasi dan kondisi tertentu dapat merusak bahkan
membinasakan kemudian mulailah berkembangnya mitos-mitos dan mite baik itu pada
diri sendiri maupun pada lingkungan
hidup dan kehidupannya (Abdul Razak, 2002: 34). Ketika kita kaji ulang dari
pembahasan diatas maka jelas, bahwa kejadian-kejadian yang ada disekeliling
kita ini menurut orang-orang yang hidup jauh sebelumnya sudah memikirkan hal
yang menakjubkan. Tetapi tidak hanya berhenti disitu saja pemikiran mereka
terhadap kejadian yang menakjubkan itu, beriringan dengan waktu yang cukup lama
kemudian dilanjutkan lagi dengan rasa yang membuat mereka bingung atau kita
kenal dengan nama “Ketidakpuasan”. Berawal dari ketidakpuasan ini juga
maka mulai manusia memikirkan hal-hal yang terjadi disekelilingnya, yang mana
kejadian ini belum mampu mereka pikirkan sehingga timbul rasa ketidakpuasan dan
banyak lahir pertanyaan dari dalam dirinya (5W+1H).
Hasrat Bertanya
Manusia
adalah makhluk tuhan diciptakan dengan kelebihan yang tidak dimiliki makhluk
lainnya. Dimana manusia memilki potensi yang sangat berharga dibanding dengan
materi lainnya. Potensi itu adalah daya rasio (kemampuan berfikir) manusia
untuk memikirkan dan memahami makna atau hal yang terjadi disekelilingnya.
Bahkan sebagian ahli mengatakan bahwa daya ini mampu berkomunikasi dengan hal
yang luar biasa. Daya luar biasa inilah yang disebut dengan istilah “rasional
agant”(Abdul Razak, 2002: 36). Maka dari potensi yang dimiliki manusia
inilah lahir banyak pertanyaan ketika melihat kejadian atau fenomena yang ada
dalam alam semesta ini. Jadi tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa adanya keinginan bertanya atau hasrat bertanya
dalam diri manusia ketika ada hal yang tidak puas ia pikirkan terhadap
kejadian-kejadian dalam alam semesta ini yang menakjubkan.
Keraguan
Keraguan
di sini adalah karena kebingungan yang ada dalam diri manusia itu sendiri
karena ketidakjelasan dengan kejadian yang ada di sekelilingnya sehingga
timbulnya pertanyaan-pertanyaan. Sebenarnya pertanyaan ini yang
melatarbelakangi timbulnya hasrat dalam diri manusia untuk memperoleh
kejelasan, keterangan tentang hakikat sesuatu yang meragukan, ketidakpastian
dirinya yang dalam keadaan tertentu sehingga diombang-ambing oleh keadaan
sekelilingnya dan kebingungan terhadap kemampuan dirinya. Maka dari itu selain
dari rasa takjub, ketidakpuasan, hasrat bertanya di atas maka hal terakhir yang
melahirkan manusia berfilsafat adalah keraguan yang ada dalam diri manusia itu
sendiri. Karena dengan adanya keraguan ini dapat mendorong manusia memikirkan
hal yang diragukannya tersebut atau dikenal dengan manusia berfilsafat.
Dari
penjelasan di atas tentang awal lahirnya filsafat dan pengertian filsafat itu
sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa sebagaimana filsafat sebagai induk dari
semua ilmu-ilmu rasional dengan prosedur
atau metode-metode tertentu, tersistematika sehingga dapat tersusun ilmu-ilmu
yang mandiri. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang mengkaji kejadian atau
fenomena alam ini beserta isinya dengan tujuan untuk mencari hakikat dari
sebuah kebenaran fenomena tersebut, maka inilah yang dikatakan filsafat sebagai
ilmu.
Filsafat Sebagai Pandangan Hidup
Manusia
adalah makhluk tuhan tang tidak pernah terlepas dari bagaimana mereka berfikir
dengan akalnya yang telah diciptakan oleh Tuhannya. Sebagaiman menurut para
ahli berfilsafah adalah berfikir secara mendalam dengan sungguh-sungguh sampai
ke akarnya terhadap suatu kebenaran atau mencari kebenaran atas sesuatu. Sedangkan
pandangan hidup atau yang sering dikenal dengan istilah weltanschauung (Jerman)
dan Word View atau Word Look (pandangan dunia) dalam Bahasa
Inggris. Weltanschauung adalah pandangan tentang dunia, pengertian tentang
realitas sebagai suatu keseluruhan, pandangan umum tentang kosmos, baik
mengenai soal hakikat, nilai, arti tujuan dunia maupun tentang hidup manusia
(Abdul Razak, 2002: 38).
Jadi dapat disimpulkan mengapa filsafat
diartikan sebagai pandangan hidup, sebagaimana menurut Asmoro Achmadi (2009: 7)
bahwa hal ini adalah karena pada hakikatnya
filsafat bersumber dari hakikat kodrat pribadi manusia itu sendiri (
sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk Tuhan). Dan filsafat merupakan
dasar penjelmaan manusia secara total (menyeluruh) dan sentral sesuai dengan
hakikat manusia sebagai makhluk monodualisme (manusia secara kodrat terdiri
dari jiwa dan raga).
Dari penjelasan di atas dapat diketahui
mengapa manusia merupakan sumber filsafat dalam filsafat sebagai pandangan
hidup, jawabannya adalah karena filsafat
itu tidak pernah terlepas dari hakikat manusia itu sendiri. Dari hakikat inilah
maka lahir beberapa macam filsafat diantaranya, Filsafat Biologi (unsur raga
manusia), Filsafat Keindahan (Estetika), Filsafat Antrofologi (kesatuan jiwa
dan raga), Filsafat Ketuhanan ( kedudukan sebagai makhluk Tuhan), Filsafat
Sosial ( Makhluk sosial), Filsafat Berfikir (Logika), Filsafat Tingkah laku
(Etika), Filsafat Psikologis, Filsafat Nilai (Aksiologi), Filsafat Negara, Filsafat
Agama (Asmoro Achmadi, 2009: 8).
Adapun maksud dari filsafat sebagai
pandangan hidup secara filosofis adalah sebagai berikut:
1.
Filsafat merupakan pemahaman mengenai realitas secara keutuhan;
konsepsi, atau perspektif seseorang tentang kehidupan dan segala sesuatu
sebagai totalitas.
2.
Sebagai sistem prinsip-prinsip, pandangan-pandangan, dan
keyakinan-keyakinan.
3.
Filsafat menentukan arah kegiatan individu, komunitas sosial,
kelas, maupun masyarakat.
Jika dilihat dari penjelasan di atas
maka inilah yang dimaksud dari filsafat sebagai pandangan hidup, dimana pada
umumnya ia menjadi dasar setiap tindakan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari,
dan juga untuk menyelesaikan persoalan-persoalan. Dan pandangan hidup ini akan
tercermin dalam sikap hidup atau cara hidup apabila manusia memikirkan dirinya
secara total atau menyeluruh. Adapun klasifikasi secara global dari filsafat
sebagai pandangan hidup menurut Abdul Razak (2002) bahwa pandangan hidup
manusia dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu: Materialisme (berupa keteragan-keterangan)
dan Idealisme (teori), dan dalam dua jenis, yaitu: Prailmiah (pendekatan tidak
dengan ilmiah ) dan Ilmiah (pendekatan secara ilmiah), dan dalam dua model,
yaitu: rasional (masuk akal) dan nonrasional atau irasional (tidak masuk akal).
Demikianlah mengapa filsafat dikatakan sebagai pandangan hidup dan pembagian
filsafat itu sendiri.
Filsafat Sebagai Metode ( Methode
Of Thougth)
Filsafat sebagai metode ini kita
kaji mulai dari berfilsafatnya manusia yang mana tidak lepas dari kodrat
manusia. Kodrat manusia adalah sebagia makhluk yang selalu menggunakan akalnya
untuk memikirkan segala sesuatu sehingga filsafat ini menjadi pandangan manusia
itu sendiri terhadap diriny, dunia ini dan kehidupannya sendiri. Kemudian akal
digunakan untuk memikirkan dan mencari hakikat dari segala sesuatu tersebut. Tetapi
untuk memikirkan segala tersebut tentunya ada tahapan-tahapan atau cara yang
digunakan sehingga bisa sampai ketahap kebenaran dari hakikat tersebut. Adapun
cara atau metode manusia berfilsafat berawal dari manusia berfikir. Sebagaimana
menurut Asmoro Achmadi (Filsafat Umum: 2009) bahwa bagaimana seorang filosof
(ahli pikir) itu bekerja? menurutnya seorang filosof bekerja tidak berbeda
dengan bekerjanya sebuah pabrik yang mana filosof bekerja dengan berfikir dengan
mengadakan kefilsafatan sedangkan sebuah pabrik itu bekerja dengan menghasilkan
proses produksi.
Dari pandangan Asmoro di atas dapat
kita katakan bahwa filsafat sebagai metode ini berawal dari berfikir (Lihat
Abdul Razak, 2002: 41). Kemudian berfikir (ilmiah) ini manusia juga mulai
merenungkan apa yang di fikirkannya. Setelah itu maka lahirnya konsep-konsep
yang logis dari hasil perenungan tersebut, adapun konsep yang dihasilkan harus
mampu memberi penjelasan tentang pandangan dunia dan inilah yang di katakan
kerjanya filosof. Kemudian proses kerja dari berfilsafat ada dua perangkat
berfikir yang mampu menghasilkan kesimpulan, di antaranya adalah analisis dan
sintesis.
Analisis
Analisis disini maksudnya adalah
melakukan pemeriksaan secara konsepsional terhadap makna dan istilah yang kita
pergunakan dalam pernyataan yang buat. Atau merincikan istilah atau
pernyataan-pernyataan pada bagiannya sehingga kita bisa melakukan pemeriksaan
atas makna yang terkandung. Contohnya: Siapa yang menciptakan alam ini?
Sintesis
Sintesis adalah mencari kesatuan
didalam keragaman. Maksudnya, mengumpulkan suatu pengetahuan yang bisa
diperoleh. Karena dalam berfilosof apabila lebih banyak keterangan yang
diperoleh maka lebih baik hasil yang di peroleh dan lebih akurat. Adapun dalam
mencari kesatuan (bersintesis) kita menggunakan beberapa alat diantara logika,
induksi, deduksi, analogi, dan komparatif (Asmoro Achmad, 2009: 21).
Demikianlah perangkat berfikir dari
seorang filosof yaitu secara analisis dan sintesis. Kemudian dari perangkat
tersebut tentunya ada tahapan sehingga menghasilkan konsep-konsep umum yang
bisa dibuktikan baik secara logika atau empiris. Berikut ini langkah-langkah
atau tahapan yang digunakan.
a.
Pengumpulan fakta dalam bentuk observasi, eksperimen, atau lainnya.
b.
Merumuskan dalil sementara (Hipotesis Ilmiah)
c.
Mengadakan verifikasi (pengukuhan), dan pembuktian secara empiris.
d.
Menetapkan teori dan hukum Ilmiah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa
filsafat sebagai metode berawal dari berfikir secara ilmiah kemudian
dilanjutkan dengan tahapan-tahapan dalam berfikir sehingga lahirlah sebuah
kesimpulan dari hasil berfikir. Adapun hasil ini merupakan konsep-konsep umum
yang ilmiah yang mampu memberikan penjelaskan tentang pandangan dunia, serta
mampu dibuktikan dengan logika dan pengalaman empiris.
Metode sering diartikan sebagai jalan
berfikir dalam bidang keilmuan. Adapun metode yang digunakan dalam berfilsafat
adalah sebagai berikut (Asmoro Achmadi, 2009: 22):
1.
Metode kritis, yaitu dengan menganalisis istilah dan pendapat,
kemudian dengan mengajukan pertanyaan secara terus menerus sampai ke hakikat yang
di tanyakan.
2.
Metode Intuitif, yaitu dengan melakukan introspeksi intuitif, dan
dengan memakai simbol-simbol.
3.
Metode analitis abstraktif, yaitu dengan jalan memisah-misahkan
atau menganalisis di dalam angan-angan (di dalam fikiran) hingga sampai hakikat
(ditemukan jawabannya).
Dari
penjelasan metode-metode yang sering digunakan dalam jalan berfikir ilmiah atau
berfilsafat itu terdiri dari tiga metode yang kami paparkan di antaranya,
metode kritis, metode intuitif, dan metode analitis absraktif.
0 comments:
Post a Comment