
Demi sebuah
perjalanan, banyak hal dan kadang kewajiban yang dengan terpaksa meski kita
tinggalkan atau pun kita tunda. Namun ada kewajiban-kewajiban yang tidak boleh
kita tinggalkan meski dengan alasan perjalanan. Salah satunya adalah kewajiban
terhadap sang khalik, yaitu Sholat 5 waktu. Dalam Islam sudah ditentukan
aturan-aturan yang sangat mempermudah bagi para musafir. Sholat yang
dilaksanakan dalam perjalanan biasa disebut sholatus safar.
Islam
adalah agama Allah SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada para pemeluknya
didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholehnya, sebagaimana firman Allah
SWT : “Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185) dan
“Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al Hajj :
78)
Islam juga
dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karena itulah shalat merupakan tiang agama. kemudian apabila
seseorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur agama tetapi sebalikya
ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai
penegak agama. Oleh karena, seorang muslim tidak boleh meninggalkan shalat
walau bagaimanapun juga tak terkecuali dalam bepergian.
Seperti
halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia diperbolehkan
bertayammum, begitupula dengan sholat yang dapat dilakukan dengan cara dijama’
(dirangkap) maupun diqoshor (dipotong). Dengan demikian, pembahasan kali ini akan membahas tentang jama’ qashar
dan menjama’ shalat.
Shalat Jama’
1. Pengertian
Menurut bahasa shalat jama' artinya
shalat yang dikumpulkan. Sedangkan menurut syariat Islam ialah dua shalat
fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu karena ada sebab-sebab tertentu. Shalat
jama’ juga bisa dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat dan ketentuan
sebagaimana yang telah ditetapkan. Berikut ini jenis shalat yang bisa di
jama’beserta macam-macamnya.
a.
Shalat yang Boleh Dijama'
Shalat yang boleh dijama' adalah shalat zhuhur
dengan shalat ashar, dan shalat maghrib dengan shalat isya.
b.
Shalat jama' ada dua macam, yakni
1)
Jama' Taqdim yaitu shalat zhuhur dan
shalat ashar dikerjakan pada waktu zhuhur, atau shalat maghrib dengan shalat isya
dikerjakan pada waktu maghrib.
2)
Jama' Ta'khir yaitu shalat zhuhur dan
shalat ashar dikerjakan pada waktu ashar atau shalat maghrib dan isya
dikerjakan pada waktu isya.
2.
Hal-hal Yang Membolehkan Jama'
Adapun beberapa sebab yang dibolehkan untuk melaksanakan
shalat Jama’ :
a.
Sebab Safar
Menjama' shalat dibolehkan bila seseorang berada dalam keadaan
safar (perjalanan). Namun para ulama menetapkan bahwa sebuah safar itu minimal
harus menempuh jarak tertentu dan ke luar kota. Di masa Rasulullah SAW, jarak
itu adalah 2 marhalah. Satu marhalah adalah jarak yang umumnya ditempuh oleh
orang berjalan kaki atau naik kuda selama satu hari. Jadi jarak 2 marhalah
adalah jarak yang ditempuh dalam 2 hari perjalanan.
Ukuran marhalah ini sangat dikenal di masa itu, sehingga dapat
dijadikan ukuran jarak suatu perjalanan. Orang arab biasa melakukan perjalanan
siang hari, yaitu dari pagi hingga tengah hari. Setelah itu mereka berhenti
atau beristirahat.
Para ulama kemudian mengkonversikan jarak ini sesuai dengan ukuran
jarak yang dikenal di zaman mereka masing-masing. Misalnya, di suatu zaman
disebut dengan ukuran burud, sehingga jarak itu menjadi 4 burud. Di tempat lain
disebut dengan ukuran farsakh, sehingga jarak itu menjadi 16 farsakh.
Di zaman sekarang ini, ketika jarak itu dikonversikan, para ulama
mendapatkan hasil bahwa jarak 2 marhalah itu adalah 89 km atau tepatnya 88, 704
km.
Maka tidak semua perjalanan bisa membolehkan shalat jama', hanya
yang jaraknya minimal 88, 704 km saja yang membolehkan. Bila jaraknya kurang
dari itu, belum dibenarkan untuk menjama'.
Namun dalam prakteknya, bukan berarti jarak itu adalah jarak
minimal yang harus sudah ditempuh, melainkan jarak minimal yang akan ditempuh.
Berarti, siapa pun yang berniat akan melakukan perjalanan yang jaraknya akan
mencapai jarak itu, sudah boleh melakukan shalat jama', asalkan sudah keluar
dari kota tempat tinggalnya.
b.
Sebab Hujan
Kita juga menemukan dalil-dalil yang terkait dengan hujan. Di mana
turunnya hujan ternyatamembolehkan dijama'nya Mahgrib dan Isya' di waktu Isya,
namun tidak untuk jama' antara Zhuhur dan Ashar. Dengan dalil;
Sesungguhnya merupakan sunnah bila
hari hujan untuk menjama' antara shalat Maghrib dengan Isya' (HR Atsram).
Kemudian dalil lain yang membahas hal ini adalah:
Dari Ibnu Abbas RA. Bahwa
Rasulullah SAW shalat di Madinah tujuh atau delapan; Zuhur, Ashar, Maghrib dan
Isya`”. Ayyub berkata, ”Barangkali pada malam turun hujan?”. Jabir berkata,
”Mungkin”. (HR Bukhari 543 dan Muslim 705).
Dari Nafi` maula Ibnu Umar berkata,
”Abdullah bin Umar bila para umaro menjama` antara maghrib dan isya` karena
hujan, beliau ikut menjama` bersama mereka”. (HR Ibnu Abi Syaibah dengan sanad Shahih).
Hal seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti Umar
bin Abdul Aziz, Said bin Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin
Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di masa itu. Demikian dituliskan oleh
Imam Malik dalam Al-Muwattha` jilid 3 halaman 40.
Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan adalah
salah satu sebab dibolehkannya jama` qashar.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa
Rasulullah SAW menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak
dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR Muslim 705).
c.
Sebab Sakit
Keadaan sakit menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang
menjama' shalat. Dalilnya adalah hadits nabawi:
Bahwa Rasulullah SAW menjama'
shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan.
d.
Sebab Haji
Para jamaah haji disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat
zhuhur dan Ashar ketika berga di Arafah dan di Muzdalifah.Dalilnya adalah
hadits berikut ini:
Dari Abi Ayyub al-Anshari ra. Bahwa
Rasulullah SAW menjama` Maghrib dan Isya` di Muzdalifah pada haji wada`. (HR Bukhari 1674).
e. Sebab Keperluan Mendesak
Bila seseorang terjebak dengan kondisi di mana dia tidak punya
alternatif lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal
itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas.
Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah
disebutkan di atas. Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj: 78)
Dari Ibnu Abbas ra,: “beliau tidak
ingin memberatkan ummatnya”.(HR Muslim 705).
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` zhuhur, Ashar,
Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.”
Hukum melaksanakan shalat jama' adalah mubah
(boleh) bagi orang yang dalam perjalanan dan mencukupi syarat-syaratnya. Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya adalah
musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan,
turunnya hujan, dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Azhim bin Badawi
Al-Khalafi 139-141).
Berkata Imam Nawawi: “Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa
seorang yang mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak
di jadikan sebagai kebiasaan." (Syarh Muslim, Imam Nawawi 5/219).
Dari Ibnu Abbas berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjama antara zhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' di
Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan
hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab: Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya. (Shahihul
Jami’ 1070).
Dalam sebuah hadits dinyatakan :
Dari Muadz bin
Jabal : "Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, apabila beliau
berangkat sebelum tergelincir matahari beliau mengakhirkan shalat zhuhur
sehingga beliau kumpulkan dengan ashar (beliau sholat zhuhur dan azhar pada
waktu ashar). Jika beliau berangkat sesudah tergelincir matahari beliau
melaksanakan sholat zhuhur dan ashar sekaligus kemudian beliau berjalan. Jika
beliau berangkat sebelum maghrib beliau mengakhirkan sholat maghrib sehingga
beliau mengerjakan sholat maghrib dan isya, dan jika beliau berangkat sesudah
waktu maghrib beliau mengerjakan sholat isya dan beliau sholat isya beserta
maghrib." (HR. Ahmad, Abu
Dawud dan At-Turmudzi).
c. Cara Melaksanakan Jama’
1.
Cara Melaksanakan Shalat Jama’ Taqdim
a.
Shalat zhuhur dan ashar dilakukan pada
waktu zhuhur. Mula-mula mengerjakan shalat zhuhur 4 rakaat (pada waktu itu
berniat melaksanakan shalat ashar pada waktu zhuhur). Setelah selesai
mengerjakan shalat zhuhur kemudian iqomah dan langsung mengerjakan shalar ashar
4 rakaat.
b.
Shalat maghrib dan isya dilakukan pada
waktu maghrib. Mula-mula mengerjakan shalat maghrib 3 rakaat (pada waktu itu
berniat melaksanakan shalat isya pada waktu
maghrib). Setelah selesai mengerjakan shalat maghrib kemudian iqomah dan
langsung mengerjakan shalar isya 4 rakaat.
Adapun syarat dalam
melaksanakan shalat Jama' Taqdim adalah
sebagai berikut:
a.
Berniat jama' pada waktu melaksanakan
sholat yang pertama.
b.
Berturut-turut karena keduanya
seolah-seolah satu sholat.
2.
Cara
Melaksanakan Jama' Takhir
a.
Shalat zhuhur dan ashar dilakukan pada
waktu ashar. Ketika masih dalam waktu zhuhur berniat bahwa shalat zhuhur akan
dilaksanakan pada waktu ashar. Setelah masuk waktu ashar ia mengerjakan shalat
zhuhur 4 rakaat, setelah selesai dilanjutkan dengan iqomah dan langsung
mengerjakan shalat ashar 4 rakaat.
b.
Shalat maghrib dan isya dilakukan pada
waktu isya. Ketika masih dalam waktu maghrib berniat bahwa shalat maghrib akan
dilaksanakan pada waktu isya. Setelah masuk waktu ashar ia mengerjakan shalat
maghrib 4 rakaat, setelah selesai dilanjutkan dengan iqomah dan langsung
mengerjakan shalat isya 4 rakaat.
Adapun syarat dalam
melaksanakan shalat Jama' Takhir adaah berniat pada waktu yang pertama bahwa ia akan shalat yang
pertama itu pada shakat yang yang kedua supaya ada maksud yang kuat akan
mengerjakan shalat yang yang pertama.
Shalat Qashar
1. Pengertian
Shalat qashar menurut bahasa ialah shalat yang
diringkas, yaitu meringkas shalat yang jumlahnya 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
Dalam hal ini shalat yang dapat diringkas adalah zhuhur, ashar dan isya.
2.
Hukum Shalat
dan Qashar
Menurut mazhab Syafi'i hukum shalat jama' dan
qashar adalah jaiz (boleh), bahkan lebih baik bagi orang yang dalam perjalanan
dan telah mencukupi syarat-syaratnya. Allah SWT berfirman :
Artinya: “Dan
apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS An Nisa : 101)
Menurut Pendapat jumhur arti qashar di sini Ialah: sembahyang
yang empat rakaat dijadikan dua rakaat. Mengqashar di sini ada kalanya dengan
mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2, Yaitu di waktu bepergian dalam
Keadaan aman dan ada kalanya dengan meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat
itu, Yaitu di waktu dalam perjalanan dalam Keadaan khauf. dan ada kalanya lagi
meringankan rukun-rukun yang 4 rakaat dalam Keadaan khauf di waktu hadhar.
Adapun riwayat yang menjelaskan hal ini adalah
sebagai berikut:
Dari Ya’la bin Umayyah bahwasannya ia bertanya kepada Umar
Ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu tentang ayat ini seraya berkata: “’Jika kamu
takut diserang orang-orang kafir’, padahal manusia telah aman?”. Sahabat Umar
radhiallahu ‘anhu menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu
akupun bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tentang hal itu
dan beliau menjawab:’(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka
terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR.
Muslim dan Abu Dawud dll).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Allah
menentukan shalat melalui lisan Nabimu Shalallahu ‘Alaihi Wassalam empat
raka’at apabila hadhar (mukim) dan dua raka’at apabila safar.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll).
Dari Umar radhiallahu ‘anhu berkata:”Shalat safar (musafir)
adalah dua raka’at, shalat Jum’at adalah dua raka’at dan shalat ‘Ied adalah dua
raka’at.” (HR.Ibnu Majah dan An Nasa’i dll dengan sanad
dengan shahih).
Dan Allah Ta’ala telah berfirman :
Artinya: “Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.”(QS al Ahzaab:21)
Berkata Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu : “Kami
pergi bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari kota Madinah ke kota
Makkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota
Madinah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syarat Sah Shalat Jama' dan Shalat Qashar
a.
Perjalanan yang
dilakukan bukan untuk maksiat (terlarang), seperti pergi untuk berjudi dan
sebagainya.
b.
Perjalanan tersebut berjarak 89 km atau tepatnya
88, 704 km
3.
Sampai Kapan Musafir
Boleh Mengqashar.
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai
kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar
(meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam
empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada
batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid
Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para
ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan
untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung
halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena
tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan
waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan
dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Sahabat Jabir radhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya
Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua
puluh hari mengqashar shalat.
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan,
bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di
Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat.
Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar
radhiallahu anhuma tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat.
Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak memberikan batasan waktu
tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir (perantau)
selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak
berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut (Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin
jilid 15, Irwa'ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312).
0 comments:
Post a Comment