Indonesia adalah negara yang sangat luas. Daerahnya terbentang
luas dari Sabang sampai Merauke. Sebagai negara yang memiliki keluasan daerah,
Indonesia memiliki ribuan pulau dengan kekayaan suku dan bangsa. Hampir 300
lebih suku bangsa serta kurang lebih 500 bahasa daerah yang dimiliki oleh
Indonesia. Konsekuensi dengan banyaknya suku dan keragaman bahasa, maka
merupakan sebuah keniscayaan bahwa Indonesia juga memiliki kekayaan dan
keragaman kebudayaan. Termasuk menjadi bagian dari keragaman tersebut adalah
kebudayaan lokal (Local Wisdom).
Kebudayaan lokal atau disebut dengan istilah local
wisdom, pada setiap daerah di Indonesia merupakan jati diri dan identitas masing-masing
bangsa. Sebagai contoh di daerah Kabupaten Sambas, tradisi bepapas, tradisi
dzikir, tradisi antar pinang dalam acara perkawinan, dan simbol-simbol budaya
yang terdapat dalam kesenian, seperti kain tenun Melayu Sambas, dan lain
sebagainya. Semua kebudayaan yang terdapat dalam budaya lokal tersebut baik itu
dalam wujud tradisi atau adat istiadat merupakan pendeskripsian kepribadian secara
umum dari daerah tersebut.
Perwujudan dalam bentuk tradisi dan adat istiadat adalah
bagian dari sebuah sistem yang terbentuk, karena adanya interaksi
berkesinambungan antara individu dalam ruang lingkup masyarakat, sehingga
menghasilkan sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang berkembang dan terjadi secara
turun temurun dalam waktu yang relatif lama inilah dikenal dengan istilah budaya.
Secara bahasa budaya merupakan peralihan bahasa dari bahasa
Sansekerta yaitu, Buddhayah yang berarti budi atau akal. Buddhayah adalah
bentuk jamk dari kata Buddhi (Sulasman
dan Setia Gumilar, 2013: 17). Kata Buddhaya
(Budaya) menurut Sulasman Gumilar merupakan perpaduan antara dua kata yaitu budi
dan daya. Budi dalam hal ini dimaknai dengan akal, pikiran, paham,
pendapat, ikhtiar, perasaan manusia selaku anggota masyarakat. Adapun daya
diartikan dengan tenaga, kekuatan, kesanggupan manusia dalam berusaha. Sedangkan
dalam istilah asing kebudayaan diistilahkan dengan Culture yang diartikan
dengan mengoleh dan mengerjakan. Pengolahan dan pengerjaan ini dapat dipahami
sebagai segala upaya, daya, serta tindakan manusia untuk mengolah
lingkungannya.
Sedangkan menurut E.B Taylor dalam bukunya Primitive
Culture, menyebutkan bahwa “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, keyakinan, kesenian moral, hukum, adat istiadat, kemampuan serta
kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat” (Koentjaraningrat, 1990: 181)”. Merujuk
pada pengertian menurut Taylor tersebut mengindikasikan bahwa, objek kebudayaan
itu pada umumnya adalah hasil dari aktivitas manusia dalam ruang lingkup yang
luas.
Ruang lingkup yang menjadi objek kebudayaan sebagaimana
disebutkan oleh Hbading dan Glick, bahwa objek “kebudayaan itu dapat dilihat
dari dua bentuk yaitu, bentuk materil dan non materil” (Allo Liliweri, 2013: 107). Objek
materil adalah hasil dari karya manusia yang dapat digunakan, sebagai contoh
arsitektur, bangunan, alat musik, peralatan rumah tangga, teknologi, dan lain sebagainya.
Sedangkan objek non-materilnya adalah sesuatu yang wujudnya abstrak namun hadir
dalam setiap sendi kehidupan. Sebagai contoh berkaitan dengan konsep nilai, norma-norma,
kepercayaan atau keyakinan dan bahasa yang terdapat di lingkungan masyarakat.
Berangkat dari kedua pengertian yang diungkapkan oleh
Taylor dan Habding dan Glick di atas, secara umum substansi budaya atau
kebudayaan adalah berkaitan dengan hasil cipta, karsa, dan rasa manusia itu
sendiri. Kemudian hasil dari upaya pengolahan yang dilakukan manusia melahirkan
berbagai karya baik itu dalam bentuk tradisi, adat istiadat, dan simbol-simbol
budaya yang ada di masyarakat. Karya-karya tersebut dalam ruang lingkup
tertentu atau daerah tertentu menjadi sebuah kearifan lokal (Local Wisdom)
yang memiliki peran dan fungsi yang besar. Termasuk di antaranya sebagai lahan
untuk penanaman nilai kepada masyarakat itu sendiri.
Kearifan lokal berdasarkan definisinya memiliki arti
tersendiri. Pengertian kearifan lokal dapat dipahami berdasarkan akar katanya.
Secara terminologi kearifan lokal terdiri dari dua suku kata yaitu kearifan
(Wsidom) dan lokal (local). Kearifan adalah menyangkut potensi yang
dimiliki seseorang dalam menggunakan akal dan pikirannya untuk menyikapi suatu
situasi tertentu. Sedangkan lokal dalam pandangan Repati Wikantiyoso dan Pindo Tutuko, (2009:7)
adalah menunjukkan ruang dari situasi yang menjadi tempat interaksi tersebut
berlangsung. Berdasarkan pengertian secara terminologi tersebut, dapat dipahami
kearifan lokal adalah bentuk prilaku positif manusia yang terjadi dalam
interaksi manusia baik itu secara individual atau kelompok dengan alam dan
lingkungannya.
Dilihat dari wujudnya kearifan lokal yang terbentuk dalam
suatu lingkungan masyarakat merupakan proses yang berlangsung secara turun
temurun dan terjadi secara alamiah. Terbentuknya kearifan lokal merupakan nilai
yang bersumberkan dari nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang. Kearifan
lokal yang sudah terbentuk menjadi prilaku positif secara umum tersebut mengalami
perkembangan, sehingga menjadi nilai-nilai yang dipandang sebagai pegangan hidup
oleh masyarakat di suatu lingkungan.
0 comments:
Post a Comment