Thursday, November 24, 2016

Eksistensi Budaya Lokal Masyarakat Melayu Sambas

Indonesia adalah negara yang sangat luas. Daerahnya terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Sebagai negara yang memiliki keluasan daerah, Indonesia memiliki ribuan pulau dengan kekayaan suku dan bangsa. Hampir 300 lebih suku bangsa serta kurang lebih 500 bahasa daerah yang dimiliki oleh Indonesia. Konsekuensi dengan banyaknya suku dan keragaman bahasa, maka merupakan sebuah keniscayaan bahwa Indonesia juga memiliki kekayaan dan keragaman kebudayaan. Termasuk menjadi bagian dari keragaman tersebut adalah kebudayaan lokal (Local Wisdom).
Kebudayaan lokal atau disebut dengan istilah local wisdom, pada setiap daerah di Indonesia merupakan jati diri dan identitas masing-masing bangsa. Sebagai contoh di daerah Kabupaten Sambas, tradisi bepapas, tradisi dzikir, tradisi antar pinang dalam acara perkawinan, dan simbol-simbol budaya yang terdapat dalam kesenian, seperti kain tenun Melayu Sambas, dan lain sebagainya. Semua kebudayaan yang terdapat dalam budaya lokal tersebut baik itu dalam wujud tradisi atau adat istiadat merupakan pendeskripsian kepribadian secara umum dari daerah tersebut.
Perwujudan dalam bentuk tradisi dan adat istiadat adalah bagian dari sebuah sistem yang terbentuk, karena adanya interaksi berkesinambungan antara individu dalam ruang lingkup masyarakat, sehingga menghasilkan sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang berkembang dan terjadi secara turun temurun dalam waktu yang relatif lama inilah dikenal dengan istilah budaya.
Secara bahasa budaya merupakan peralihan bahasa dari bahasa Sansekerta yaitu, Buddhayah yang berarti budi atau akal. Buddhayah adalah bentuk jamk dari kata Buddhi (Sulasman dan Setia Gumilar, 2013: 17).  Kata Buddhaya (Budaya) menurut Sulasman Gumilar merupakan perpaduan antara dua kata yaitu budi dan daya. Budi dalam hal ini dimaknai dengan akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar, perasaan manusia selaku anggota masyarakat. Adapun daya diartikan dengan tenaga, kekuatan, kesanggupan manusia dalam berusaha. Sedangkan dalam istilah asing kebudayaan diistilahkan dengan Culture yang diartikan dengan mengoleh dan mengerjakan. Pengolahan dan pengerjaan ini dapat dipahami sebagai segala upaya, daya, serta tindakan manusia untuk mengolah lingkungannya.
Sedangkan menurut E.B Taylor dalam bukunya Primitive Culture, menyebutkan bahwa “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian moral, hukum, adat istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat” (Koentjaraningrat, 1990: 181)”. Merujuk pada pengertian menurut Taylor tersebut mengindikasikan bahwa, objek kebudayaan itu pada umumnya adalah hasil dari aktivitas manusia dalam ruang lingkup yang luas.
Ruang lingkup yang menjadi objek kebudayaan sebagaimana disebutkan oleh Hbading dan Glick, bahwa objek “kebudayaan itu dapat dilihat dari dua bentuk yaitu, bentuk materil dan non materil” (Allo Liliweri, 2013: 107). Objek materil adalah hasil dari karya manusia yang dapat digunakan, sebagai contoh arsitektur, bangunan, alat musik, peralatan rumah tangga, teknologi, dan lain sebagainya. Sedangkan objek non-materilnya adalah sesuatu yang wujudnya abstrak namun hadir dalam setiap sendi kehidupan. Sebagai contoh berkaitan dengan konsep nilai, norma-norma, kepercayaan atau keyakinan dan bahasa yang terdapat di lingkungan masyarakat.
Berangkat dari kedua pengertian yang diungkapkan oleh Taylor dan Habding dan Glick di atas, secara umum substansi budaya atau kebudayaan adalah berkaitan dengan hasil cipta, karsa, dan rasa manusia itu sendiri. Kemudian hasil dari upaya pengolahan yang dilakukan manusia melahirkan berbagai karya baik itu dalam bentuk tradisi, adat istiadat, dan simbol-simbol budaya yang ada di masyarakat. Karya-karya tersebut dalam ruang lingkup tertentu atau daerah tertentu menjadi sebuah kearifan lokal (Local Wisdom) yang memiliki peran dan fungsi yang besar. Termasuk di antaranya sebagai lahan untuk penanaman nilai kepada masyarakat itu sendiri.
Kearifan lokal berdasarkan definisinya memiliki arti tersendiri. Pengertian kearifan lokal dapat dipahami berdasarkan akar katanya. Secara terminologi kearifan lokal terdiri dari dua suku kata yaitu kearifan (Wsidom) dan lokal (local). Kearifan adalah menyangkut potensi yang dimiliki seseorang dalam menggunakan akal dan pikirannya untuk menyikapi suatu situasi tertentu. Sedangkan lokal dalam pandangan Repati Wikantiyoso dan Pindo Tutuko, (2009:7) adalah menunjukkan ruang dari situasi yang menjadi tempat interaksi tersebut berlangsung. Berdasarkan pengertian secara terminologi tersebut, dapat dipahami kearifan lokal adalah bentuk prilaku positif manusia yang terjadi dalam interaksi manusia baik itu secara individual atau kelompok dengan alam dan lingkungannya.
Dilihat dari wujudnya kearifan lokal yang terbentuk dalam suatu lingkungan masyarakat merupakan proses yang berlangsung secara turun temurun dan terjadi secara alamiah. Terbentuknya kearifan lokal merupakan nilai yang bersumberkan dari nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang. Kearifan lokal yang sudah terbentuk menjadi prilaku positif secara umum tersebut mengalami perkembangan, sehingga menjadi nilai-nilai yang dipandang sebagai pegangan hidup oleh masyarakat di suatu lingkungan.

0 comments:

Post a Comment

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com