Program Acara
Sinetron “Anak Jalanan”DI Stasiun
Televisi RCTI (Analisis Etika
dan Hukum Penyiaran, dalam Undang-undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran)
Sinopsis :
Sinetron Anak
Jalanan adalah sebuah program acara televisi yang di tayangkan oleh stasiun
televisi RCTI. Program acara ini merupakan sebuah program sinetron anak remaja
masa sekarang. Sinetron tersebut mengkisahkan tentang percintaan dan
perkumpulan anak muda yang bergabung dalam kelompok gang yang menyebut diri
mereka dengan gang motor warior. Program acara sinetron “Anak Jalanan” adalah
sebuah hiburan yang dipertontnkan kepada anak-anak dan remaja, karena jam
tayang dari sinetron ini adalah dari Jam 19.00 sampai jam 21.00.
Kasus :
Sinetron anak
jalanan di nilai tidak, cocok unutk kultur moral anak bangsa Indonesia, khususnya
anak-anak dan remaja. Karena sebagian besar adegan dalam sinetron “Anak
Jalanan” memberikan contoh yang tidak baik, mislanya adanya perkumpulan
gang-gang yang melakukan aksi balap motor di jalan, kemudian adanya adegan cium
yang dilakukan oleh dua pasangan anak
muda, dan perkelahian. Kemudian kisah yang di tawarkan oleh sinetron “Anak
Jalanan” juga tidak sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah dari sebuah
etika dan hukum penyiaran. Sedangkan semuanya telah di atur dalam Undang-undang
yang di jadikan tolak ukur dalam setaip program acara yang ditayangkan.
Analisis :
Media adalah
bagian yang tidak terpeisahkan dari kehidupan masyarakat. Karena hampir
diseluruh dunia khususnye di Indonesia setiap masyarakatnya menjadikan media
khususnya televisi bagian dari rutinitas sehari-hari. Apalagi di era
globalisasi sekarang ini media merupakan salah satu bagian yang banyak
memberikan pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat, terlebih lagi dalam
pembentukan karakter anak didik. Karena sesungguhnya mereka selain mendapat
pendidikan di sekolah dan di lingkungan rumah, mereka juga mendapatkan
pendidikan nonformal dari siaran-siaran yang ditayangkan oleh setiap lembaga
penyiaran televisi. Maka dari itu setiap tayangan yang dipertontonkan di media
televisi akan memberikan pengurh besar dalam karakter anak.
Sesungguhnya
Komisi Penyiaran Indonensia telah menyusun sebuah aturan yang menjadi tolak
ukur untuk wajib di taati dan perhatikan oleh setiap lembaga penyiaran baik itu
swasta maupun milik pemerintah. Aturan tersbut di antaranya adalah terdapat
dalam ketentuan umum Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang hukum penyiaran
bahwa “Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran
publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga
penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung
jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Terkait dengan
khsusu di atas, jika dikaji dan dianalisis dari kaca mata Undang-undang penyiaran
maka program acara sinetron “Anak Jalanan” dinilai telah melanggar hukum dan
etika penyiaran. Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksudkan adalah pada Bab II
tentang Asas, Tujuan, Fungsi dan Arah Penyiaran di antaranya:
1. Asas Penyiaran
“Penyiaran
diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung
jawab” (Pasal 2).
Jika ditinjau
dari asasnya penyiaran, program tayangan “Anak Jalanan” di lembega penyiaran
RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), telah melanggar asas yang telah
ditetapkan yaitu, etika penyiaran. Dimana tidak selayaknya adegan-adegan yang
tidak sesuai dengan kulltur bangsa Indonesia yang menjujung tinggi asas
kesopana dan keberadaban, yang termuat dalam dasar Panca Sila yaitu sila ke 2
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tetapi justru dalam tayangan sinetron
“Anak Jalanan” banyak adegan kurang baik yang ditampilkan, sehingga banyak
menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan Karakter anak bangsa yang nantinya
akan mencerminkan jati diri dan identitas bangsa.
2. Tujuan
Penyiaran
diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya
watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan
bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang
mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran
Indonesia (Pasal 3).
Terkait dengan
media sebagai pembentukan sebuah budaya, sebagaimana dijelaskan oleh Malvin DeFleur (Onong
Uchjana, 2003: 279), berdasarkan teori Norma budaya (Cultur Norms Theory) bahwa
pada hakikatnya media massa (dalam hal ini adalah media televisi) memiliki kemampuan
untuk memberikan kesan dan pengaruh terhadap norma dan budaya secara tidak
langsung kepada khalayak, yaitu di antaranya kepada anak-anak dan remaja. Oleh
sebab itu, jika ditinjau dari tujuan penyiaran itu sendiri yang bertujuan untuk
membentuk jati diri dan waktak bangsa yang beriman dan bertakwa maka, penyajian
budaya yang ditawarkan oleh sinetron “Anak Jalana” di RCTI yang lebih
mengedepankan budaya “Jahiliah” (disitilahkan sekrang sebagai budaya “Gaul”
atau modern) tidak sesuai dengan tujuan penyiaran itu sendiri.
3. Fungsi
Sebagai sebuah
media, lembaga penyiaran tentunya memiliki fungsi yang telah di atur juga dalam
undang-andang penyairan di antaranya pada Pasal 4 sebagai berikut:
(1) Penyiaran
sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.
(2)Dalam
menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyiaran juga
mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.
Terkait dengan
fungsi pada pasal 4 poin satu dan dua, dijelaskan bahwa media berfungsi sebagai
media pendidikan, hiburan yang sehat, dan kontrol dan perekat sosial, ekonomi
dan kebudayaan. Jika dikaji berdasarkan fungsi tersebut ada beberapa poin yang
dilanggar, yaitu Pertama, bahwa sinetron tersebut tidak menjadi sebuah hiburan
yang sehat, karena isinya mengajarkan tentang pelanggaran-pelanggaran baik itu
pelanggaran lalu lintas dengan melakukan adegan balapan liar di jalan raya, dan
pelanggaran norma agama (khususnya umat muslim karena mayoritas muslim di
Indonesia) dengan melakukan adegan ciuman yang dipertontonkan kepada anak-anak
dan remaja yang masih belom layak untuk dikonsumsi oleh mereka. Kedua, sebagai
negara yang memiliki ragam budaya, suku dan bangsa tentunya sinetroon “Anak
Jalanan” tersebut tidak memberikan contoh yang baik dalam membangun hubungan
sosial, dan saling menjaga satu sama lain. Tetapi malah sebaliknya memberikan
contoh yang memicu perpecahan dengan menampilkan perngelompokan-pengelompokan
anak-anak muda yang saling bermusuhan dan menjatuhkan satu sama lain.
4. Arah
Pada analisis
arah dari isi penyiaran yang ditayangkan oleh RCTI dalam sinetron “Anak
Jalanan” ini telah banyak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah
digariskan oleh undang-undang tentang arah penyiaran, pada pasal 5, sebagaimana
berikut ini:
a.menjunjung
tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b.menjaga dan
meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa;
c.meningkatkan
kualitas sumber daya manusia;
d.menjaga dan
mempererat persatuan dan kesatuan bangsa;
e.meningkatkan
kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional;
f.menyalurkan
pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional
dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup;
g.mencegah
monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran;
h.mendorong
peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan
memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi;
i.memberikan
informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab;
j.memajukan
kebudayaan nasional.
Jika
diperhatikan pada penyairan yang ditayangkan seharusnya lembaga penyiaran tidak
menawarkan kepada publik budaya-budaya “Jahiliyah” kepada publik, apalagi
tayangannya di tujukan kepada anak-anak dan remaja. Hal paling urgen adalah jam
19.00 sampai jam 21.000 merupakan masa yang di gunakan untuk menonton teevisi
oleh sebagian besar anak-anak indonesia. Dimana mereka adalah kalangan yang
termasuk kedalam golongan yang tak berdaya jika ditinjau dari teori Jarum
Hipodermik (Hypodermic Needle Model) menurut Elihu Katz (dalam Onong Ucjhana,
2003: 84) bahwa “media sangat mudah memberikan pengaruh, baik itu ide-ide dan
contoh kepada orang yang tidak berdaya” (dalam hal ini termasuk anak-anak dan
remaja). Oleh sebab itu budaya yang ditawarkan oleh sinetron “Anak Jalanan”
tidak sesuai dengan arah penyairan dan telah melanggar ketentuan undang-undang
penyiaran.
0 comments:
Post a Comment