Saturday, November 26, 2016

Fazlur Rahman: Studi Kitab Tafsir Modern


Fazlur Rahman adalah sosok pemikir intelektual yang tinggi di mana ia dapat menghasilkan karya-karyanya yang begitu banyak dan bermanfaat penting bagi ilmu pengetahuan kita. Pada dasarnya metodologi prnafsiran telah dibentuk oleh ulama-ulama salaf sebagai upaya mereka mendialogkan al-Qur’an dengan konteks mereka. Ketika metode itu dibawa ke konteks yang berbeda, maka tidak mampu lagi mendialogkan al-Qur’an sebagaimana kebutuhan konteks yang baru. Jadi, untuk menjadikan al-Qur’an terus berbicara maka membutuhkan metodologi baru yang bisa mengakomodasi perkembangan zaman sehingga al-Qur’an menjadi elastis dan fleksibel (Sahiron Syamsuddin, 2010: 60).

 Selaku intelektual muslim, Fazlur Rahman berusaha menawarkan sebah metode baru memahami al-Qur’an yang rasional, sistematis dan komprehensif sehingga bisa terwujud al-Qur’an Shalih li kulli zaman wa makan. Metode tersebut bisa dikatakan sebagai upaya menjadikan al-Qur’an untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian dan mampu mengakomodasi perubahan dan perkembangan zaman. Hasil karyanya yang begitu banyak dapat memperluas pengetahuan tentang Islam. Dengan berbagai cara dan jalan yang di tempuh beliau untuk menyampaikan gagasannya yang bernilai sangat tinggi sebagai suatu gerakan Islam. Dalam pengembangan agamanya adalah perjuangan beliau selama hidup. Adapun di makalah ini penulis akan membahas tentang  metode penafsiran Fazlurrahman. Untuk lebih jelasnya, anda bisa membaca hasil dari pembahasan ini.



Riwayat Hidup Fazlur Rahman

Fazlur Rahman lahir pada hari Minggu tanggal 21 September 1919 yang letaknya di Hazara, terletak di Barat Laut Pakistan atau sebelum terpecahnya dari India, kini merupakan bagian dari Pakistan (Fazlur Rahaman, 2001: 1-2). Fazlur Rahman di besarkan dalam madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi merupakan madzhab yang didasari al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi cara berfikirnya lebih rasional. Fazlur Rahman dilahirkan dari keluarga miskin yang taat pada agama. Orang yang sangat berjasa dalam menanamkan dan membentuk kepribadiannya adalah ayah dan ibunya sendiri. Ketika hendak mencapai usia 10 tahun ia sudah hafal al-Qur’an, walaupun ia di besarkan dalam keluarga yang mempunyai pemikiran tradisional akan tetapi ia tidak seperti pemikir tradisional yang menolak, dan menganggap pemikiran modern dapat meracuni keimanan dan moral, bahkan ayahnya sendiri Maulana Syahab al-Din beranggapan, Islam harus menghadapi realitas kehidupan modern. Menurutnya bahwa Islam tidak hanya memandang modernitas itu sebagai tantangan (challenge) tetapi  juga merupakan kesempatan (opportunity) (Shiron, 1990: 227).

Ayahnya Maulana Syahab al- Din adalah alumni dari sekolah menengah terkemuka di India, Darul Ulum Deoband. Meskipun Fazlur Rahman tidak belajar di Daril Ulum, ia menguasai kurikulum Dares Nijami yang di tawarkan di lembaga tersebut dalam kajian privat dengan Ayahnya, ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami islam tradisional dengan perhatian khusus pada fikih, Ilmu kalam, Hadits, Tafsir, Mantiq, dan Filsafat. Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar ini, ia melanjutkan ke Punjab University di Lahore dimana ia lulus dengan penghargaan untuk bahasa Arabnya dan di sana juga ia mendapatkan gelar MA-nya. Pada tahun 1946 ia pergi ke Oxford dengan mempersiapkan disertasi dengan Psikologi Ibnu Sina di bawah pengawasan professor Simon Van Den Berg. Disertasi itu merupakan terjemah kritikan dan kritikan pada bagian dari kitab An-Najt, milik filosof muslim kenamaan abad ke-7, setelah di Oxford ia mengajar bahasa Persia dan Filsafat Islam di Durham University Kanada dari tahun 1950-1958. ia meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Professor pada kajian Islam di Institute Of Islamic Studies Mc. Gill University Kanada di Montreal. Dimana dia menjabat sebagai Associate Professor Of Philosophy.

Pada awal tahun 60 an Fazlur Rahman kembali ke Pakistan. Pada bulan Agustus 1946 Fazlur Rahman di tunjuk sebagai Direktur Riset Islam, setelah sebelumnya menjabat sebagai staf lembaga tersebut. Selain menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, pada tahun 1964 ia di tunjuk sebagai anggota dewan penasehat Ideologi Pemerintah Pakistan. Namun usaha Fazlur Rahman sebagai seorang pemikir modern di tentang keras oleh para ulama tradisional-findamentalis. Puncak dari segala kontroversialnya memuncak ketika 2 bab karya momumentalnya, Islam (1966) di tentang keras karena pernyataan Fazlur Rahman dalam buku tesebut “ Bahwa Al-Qur’an itu secara keseluruhan adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya merupakan perkataan Muhammad “ sehingga Fazlur Rahman di anggap orang yang memungkiri Al-Qur’an kemudian pada 5 September 1986 ia mengundurkan diri dari jabatan Direktur lembaga Riset Islam yang langsung di kabulkan oleh Ayyub Khan.

Tidak kurang dari 18 tahun lamanya Fazlur Rahman menetap di Chicago dan mengkomunikasikan gagasan-gagasannya baik lewat lisan maupun tulisan sampai akhir tahun memanggilnya pulang pada tahun 26 juli 1988 jauh sebelum ia sudah terkena penyakit diabetes yang kronis dan serangan jantung sehingga ia harus di operasi. Operasi ini berhasil setidak-tidaknya untuk beberapa minggu hingga ajal menjemputnya. Kepergian beliau merupakan suatu kehilangan bagi dunia Intelektual Islam.



Metode Penafsiran Fazlur Rahnan

Berangkat dari pemikiran beliau tentang metode penafsiran yang harus dilakukan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an, beliau mencoba menawarkan sebuah metode tafsir kontenporer yang  unik dan menarik untuk dikaji, berbeda dengan metode-metode tafsir era sebelumnya, yaitu metode yang populer dengan nama “gerakan ganda” (Double Movement), yakni proses penafsiran al-Qur’an dari situasi sekarang ke era al-Qur’an (diturunkan), lalu kembali lagi ke masa kini. Artinya pertama, seorang mufassir harus bergerak dari penanganan-penanganan kasus kongkrit oleh al-Qur’an dengan mempertimbangkan kondisi sosial yang relevan ketika itu ke prinsip-prinsip umum di mana keseluruhan ajaran al-Qur’an berpusat. Kedua, dari peringkat umum ini harus dilakukan kembali kepada legislasi yang spesifik, dengan memperhitungkan kondisi-kondisi sosial yang ada sekarang.

Menurut Fazlur Rahman, prosedur yang benar untuk memahami al-Qur’an setidaknya mufassir harus menempuh dua pendekatan, yaitu: Pertama, mempelajari al-Qur’an dalam Ordo Historis (Asbabun Nuzul) untuk mengapresiasi tema-tema dan gagasan-gagasannya sehingga diketahui makna yang tepat dari firman Allah. Tidak dilakukannya pendekatan ini berdampak pada tersesatnya dalam memahami butir penting tertenu dari ajarannya. Kedua, mengkaji al-Qur’an dalam konteks latar belakang Sosio Historisnya. Dengan pendekatan ini akan diketahui laporan tentang bagaimana orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah-perintah al-Qur’an (Syamsuddin, 1984: 48). Hal ini tidak saja berlaku untuk ayat-ayatnya secara individual, tetapi untuk al-Qur’an secara keseluruhan. Tanpa memehami latar belakang mikro dan makronya secara memadai, menurut Rahman besar kemungkinan seorang akan salah tangkap terhadap maksud al-Qur’an.



Metode “Double Movement”  dan Mekanisme Penerapannya

Fazlur Rahman sejak mulai merintis metodologi tafsirnya memang telah menekankan pentingnya memahami kondisi-kondisi aktual masyarakat Arab ketika Al-Qur’an diturunkan dalam rangka menafsirkan pernyataan - pernyataan legal dan sosio-ekonominya. Metode tafsir  yang dikembangkan Rahman dikenal dengan sebutan gerakan ganda penafsiran (double movement).

   Teori gerakan ganda penafsiran ini dimulai dari dua langkah: langkah pertama, memuat dua cara: pertama, mencari makna dari pernyataan Al-Qur’an dengan mengkaji situasi historis dan problem historis dimana pernyataan itu merupakan jawabannya. Yang dimaksud dengan teori ini adalah, Al-Qur’an harus dilihat dalam situasi kelahirannya, tentunya melalui  realitas dimana ayat Al-qur’an turun dan dalam sebab apa ayat Al-qur’an turun. kedua , menggeneralisasikan pernyataan-pernyataan yang bermula dari yang partikular, dari situasi dan asbabunnuzul masing-masing ayat,sebagai pernyataan yang bersifat universal. Dalam hal ini yang dicari adalah nilai-nilai etisnya yang bersifat universal.

   Langkah kedua, dimulai dari hal-hal yang bersifat universal, yang dicapai dari langkah pertama di atas, kepada hal-hal yang bersifat partikular dalam situasi kekinian di mana dan kapan Al-qur’an hendak diberlakukan. Tujuan ini mensyaratkan seorang pemikir untuk mengetahui bukan saja aspek tekstual ayat Al-qur’an tetapi juga situasi kekinian yang partikular, sehingga ketika mempraksiskan yang universal ke dalam partikularitas kekinian tidak menemui jalan buntu.

Hanya dengan cara inilah, paparnya suatu apresiasi yang sejati terhadap  tujuan-tujaun Al-qur’an dan sunnah yang dapat dicapai. Aplikasi pendekatan kesejarahan dalam gerakan ganda penafsiran ini telah membuat Fazrur Rahman menekankan pentingnya pembedaan antara tujuan dan “ideal moral” Al-qur’an dengan ketentuan legal spesifiknya. “Ideal moral” yang dituju oleh Al-qur’an lebih pantas untuk diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya. Sebut saja dalam masalah poligami dan perbudakan sebagai contoh. Fazrur Rahman mengungkapkan bahwa “ideal moral” yang dituju Al-qur’an adalah monogami dan emansipasi budak. Sementara penerimaan Al-qur’an terhadap kedua pranata tersebut secara legal dikarenakan kemustahilan untuk menghapusnya dalam seketika. Menurut Fazlur Rahman;

“ Bagian dari tugas untuk memahami pesan Al-qur’an sebagai sebuah kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang. Latar belakang langsungnya adalah aktifitas Nabi sendiri dan perjuangannya selama kurang lebih dua puluh tiga tahun dibawah bimbingan al-qur’an. Karena perjuangan Nabi sendirilah yang sesungguhnya berhak memperoleh sebutan sunnah, maka penting untuk memahami sebaik mungkin milieu (lingkungan) Arab pada awal penyebaran Islam, sebab aktifitas Nabi mensyaratkan adanya milieu tersebut. Dengan demikian adat istiadat, pranata-pranata dan pandangan hidup orang-orang Arab pada  umunya menjadi sangat penting untuk memahami aktifitas Nabi. Situasi di Mekah khususnaya, segera sebelum Islam dating juga membutuhkan suatu pemahaman yang mendalam. Suatu usaha dilakukan tidak hanya untuk memahami agama Arab pra- Islam, tetapi juga pranata-pranata social, kehidupan ekonomi dan hubungan-hubungan politik mereka. Peran penting suku Quraisy suku yang sangat kuat, dan Nabi berasal darinya dan pengaruh kekuasaan religio ekonomisnya di kalangan orang-orang Arab harus dipahami. Tanpa memahami hal ini, usaha untuk pesan Al-Qur’an secara utuh merupakan sebuah pekerjaan yang sia-sia”.



Karya-karya Fazlur Rahman

Karya Fazlur Rahman yang dipublikasikan dalam bentuk buku seluruhnya adalah: Avicenna’s Psychology (1952), Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958), Islamic Metodology in History (1965), Islam (1966), The Philosophy of Mulla Sadra (1975), Major Themes of the Qur’an (1980), Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982), Health and Medicine in Islamic Tradition : Change and Identity (1987), Revival and Reform in Islami (2000), Dalam bentuk artikel ilmiah, karya tersebut di banyak jurnal baik jurnal lokal (Pakistan) maupun Internasional, serta dimuat dalam banyak buku . Jurnal-jurnal yang memuat tulisannya antara lain Islamic Studies, The Muslaim World, dan Studia Islamica,. Sedangkan buku-buku suntingan terkemuka yang memuat karyanya antara lain: Theology and Law in Islam yang diedit oleh G.E. von Grunebaum; The Encyclopediaof Relegions yang diedit oleh Mircea Eliade; Approaches to Islam in Religious Studies yang diedit olrh Richard C Martin; Islam Past Influence and Present Challenge yang diedit oleh Alford T. Welch, dan P. Cachia: daan lain sebagainya.



Contoh Penafsiran
Penerapan metode tafsir Double Movement”  dapat penulis ilustrasikan dengan mengambil kasus “poligami dalam Islam”. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’yang kerap dikutip sebagai dalil untuk mengabsahkan praktik poligami adalah :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’ : 3).
Yang diinginkan Al-Qur’an sesungguhnya bukan praktek beristri banyak. Praktek ini tidak sesuai dengan harkat yang telah diberikan Al-Qur’an kepada wanita. Status wanita yang selama ini cenderung dinomor duakan akan menjadi semakin kuat jika praktek poligami tetap diberlakukan. Al-Qur’an menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan punya kedudukan dan hak yang sama. Maka pernyataan Al-Qur’an bahwa laki-laki boleh punya istri sampai empat orang hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Ada syarat yang diajukan oleh Al-qur’an, yaitu menyangkut keadilan dalam rumah tangga.
Untuk memahami pesan Al-Qur’an, penelusuran sosio-historis hendaknya dilakukan. Masalah ini muncul berkenaan dengan para gadis yatim yang dalam ayat sebelumnya disebutkan, berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
Ayat di atas melarang keras para wali untuk memakan harta anak yatim. Setelah penekanan  kemudian Al-Qur’an membolehkan para wali untuk mengawini mereka sampai empat orang. Tetapi menurut Rahman, ada satu prinsip yang sering diabaikan oleh ulama dalam hal ini, yaitu : “ kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berlaku demikian  (QS. Al-Nisa’4:129). Dan terdapat juga pada potongan ayat 3 “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.
Dari ayat-ayat tersebut disiratkan suatu makna bahwa sikap adil itu mustahil dijalankan oleh seorang laki-laki (suami) terhadap masing-masing istrinya. Jadi, pesan terdalam Al-Qur’an tidak menganjurkan poligami. Ia justru memerintahkan sebaliknya, monogami (hidup yang umumnya disepakati oleh dua belah pihak, laki-laki dan perempuan). Itulah ideal moral yang hendak dituju Al-Qur’an. Kemudian menurut pemakalah dalam masalah poligami ini memang ada baiknya seorang laki-laki yang mau berpoligami melihat konteks dan sejarahnya telebih dahulu, sebab adakalanya seorang istri tidak redho jika dia dipoligami sekalipun tidak ada syarat bagi laki-laki untuk meminta izin bagi istri. Seorang suami hendaknya mempunyai rasa kemanusiaan yang mendalam dan meresapi hadis Nabi yang mengatakan bahwa seorang laki-laki (suami) yang tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya maka di akhirat dia berjalan dengan kondisi bengkok (pen.terseok-seok).
Selain dari contoh yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman di atas ada contoh lain dalam tafsir kontektual ini, untuk itu pemakalah dapat  menyimpulkan bahwa penerapan tafsir kontekstual ini sudah terjadi sejak masa Kholifah Umar bin Khottob,  dimana Umar bin khottob tidak memberikan hukum potong tangan bagi pencuri lantaran kondisi pencuri itu sangat memperhatinkan. Dan Umar juga tidak membagikan harta rampasan kepada para Prajurit dikarenakan semua kebutuhan dan peralatan sudah disediakan oleh Negara sehingga dalam masalah harta rampasan adalah menjadi milik (kas) Negara. Kedua contoh yang diterapkan oleh Umar jelas menyalai nas al-Qur’an yang didalamnya mengandung hukum potong tangan bagi pencuri dan memberikan harta rampasan kepada sahabat yang ikut dalam berperang sebagaimana Nabi pernah membagikan harta rampasan tersebut, akan tetapi Umar melihat kondisi yang sangat berbeda dan tidak mungkin menjalankan hukuman tersebut.

0 comments:

Post a Comment

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com