Fazlur Rahman adalah sosok pemikir intelektual yang tinggi di mana ia dapat menghasilkan
karya-karyanya yang begitu banyak dan bermanfaat penting bagi ilmu pengetahuan
kita. Pada dasarnya
metodologi prnafsiran telah dibentuk oleh ulama-ulama salaf sebagai upaya
mereka mendialogkan al-Qur’an dengan konteks mereka. Ketika metode itu dibawa
ke konteks yang berbeda, maka tidak mampu lagi mendialogkan al-Qur’an
sebagaimana kebutuhan konteks yang baru. Jadi, untuk menjadikan al-Qur’an terus
berbicara maka membutuhkan metodologi baru yang bisa mengakomodasi perkembangan
zaman sehingga al-Qur’an menjadi elastis dan
fleksibel (Sahiron Syamsuddin, 2010: 60).
Selaku intelektual muslim,
Fazlur Rahman berusaha menawarkan sebah metode baru memahami al-Qur’an yang rasional, sistematis dan komprehensif
sehingga bisa terwujud al-Qur’an Shalih
li kulli zaman wa makan. Metode tersebut bisa dikatakan sebagai upaya
menjadikan al-Qur’an untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian dan mampu
mengakomodasi perubahan dan perkembangan zaman. Hasil karyanya yang begitu banyak dapat memperluas
pengetahuan tentang Islam. Dengan berbagai cara dan jalan yang di tempuh beliau
untuk menyampaikan gagasannya yang bernilai sangat tinggi sebagai suatu gerakan
Islam. Dalam pengembangan agamanya adalah perjuangan beliau selama hidup. Adapun di makalah ini penulis akan membahas tentang metode
penafsiran Fazlurrahman. Untuk lebih jelasnya, anda bisa membaca hasil dari pembahasan ini.
Riwayat Hidup Fazlur Rahman
Fazlur
Rahman lahir pada hari
Minggu tanggal 21 September 1919 yang letaknya di Hazara, terletak di Barat
Laut Pakistan atau sebelum terpecahnya dari India, kini merupakan bagian dari
Pakistan (Fazlur Rahaman, 2001: 1-2). Fazlur
Rahman di besarkan dalam madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi merupakan madzhab
yang didasari al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi cara berfikirnya lebih
rasional. Fazlur Rahman dilahirkan dari keluarga miskin yang taat pada agama.
Orang yang sangat berjasa dalam menanamkan dan membentuk kepribadiannya adalah
ayah dan ibunya sendiri. Ketika hendak mencapai usia 10 tahun ia sudah hafal
al-Qur’an, walaupun ia di besarkan dalam keluarga yang mempunyai pemikiran
tradisional akan tetapi ia tidak seperti pemikir tradisional yang menolak, dan menganggap
pemikiran modern dapat meracuni
keimanan dan moral, bahkan ayahnya sendiri Maulana Syahab al-Din beranggapan, Islam harus menghadapi realitas kehidupan modern. Menurutnya bahwa Islam tidak
hanya memandang modernitas itu sebagai tantangan (challenge) tetapi juga
merupakan kesempatan (opportunity) (Shiron, 1990: 227).
Ayahnya
Maulana Syahab al- Din adalah alumni dari sekolah menengah terkemuka di India,
Darul Ulum Deoband. Meskipun Fazlur Rahman tidak belajar di Daril
Ulum, ia menguasai kurikulum Dares Nijami yang di tawarkan di lembaga tersebut
dalam kajian privat dengan Ayahnya, ini melengkapi latar belakangnya dalam
memahami islam tradisional dengan perhatian khusus pada fikih, Ilmu kalam, Hadits,
Tafsir, Mantiq, dan Filsafat. Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar ini, ia
melanjutkan ke Punjab University di Lahore dimana ia lulus dengan penghargaan
untuk bahasa Arabnya dan di sana juga ia mendapatkan gelar MA-nya. Pada tahun
1946 ia pergi ke Oxford dengan mempersiapkan disertasi dengan Psikologi Ibnu
Sina di bawah pengawasan professor Simon Van Den Berg. Disertasi itu merupakan
terjemah kritikan dan kritikan pada bagian dari kitab An-Najt, milik filosof
muslim kenamaan abad ke-7, setelah di Oxford ia mengajar bahasa Persia dan
Filsafat Islam di Durham University Kanada dari tahun 1950-1958. ia
meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Professor pada kajian Islam di
Institute Of Islamic Studies Mc. Gill University Kanada di Montreal. Dimana dia
menjabat sebagai Associate Professor Of Philosophy.
Pada
awal tahun 60 an Fazlur Rahman kembali ke Pakistan. Pada bulan
Agustus 1946 Fazlur Rahman di tunjuk sebagai Direktur Riset
Islam, setelah sebelumnya menjabat sebagai staf lembaga tersebut. Selain menjabat
sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, pada tahun 1964 ia di tunjuk sebagai
anggota dewan penasehat Ideologi Pemerintah Pakistan. Namun usaha Fazlur
Rahman sebagai seorang pemikir modern di tentang keras oleh para ulama
tradisional-findamentalis. Puncak dari segala kontroversialnya memuncak ketika
2 bab karya momumentalnya, Islam (1966) di tentang keras karena pernyataan Fazlur
Rahman dalam buku tesebut “ Bahwa Al-Qur’an itu secara keseluruhan
adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya merupakan
perkataan Muhammad “ sehingga Fazlur Rahman di anggap orang
yang memungkiri Al-Qur’an kemudian pada 5 September 1986 ia mengundurkan diri
dari jabatan Direktur lembaga Riset Islam yang langsung di kabulkan oleh Ayyub
Khan.
Tidak
kurang dari 18 tahun lamanya Fazlur Rahman menetap di Chicago dan
mengkomunikasikan gagasan-gagasannya baik lewat lisan maupun tulisan sampai
akhir tahun memanggilnya pulang pada tahun 26 juli 1988 jauh sebelum ia sudah
terkena penyakit diabetes yang kronis dan serangan jantung sehingga ia harus di
operasi. Operasi ini berhasil setidak-tidaknya untuk beberapa minggu hingga
ajal menjemputnya. Kepergian beliau merupakan suatu kehilangan bagi dunia
Intelektual Islam.
Metode Penafsiran Fazlur
Rahnan
Berangkat
dari pemikiran beliau tentang metode penafsiran yang harus dilakukan oleh
seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an, beliau mencoba menawarkan sebuah
metode tafsir kontenporer yang unik dan
menarik untuk dikaji, berbeda dengan metode-metode tafsir era sebelumnya, yaitu
metode yang populer dengan nama “gerakan ganda” (Double Movement), yakni proses
penafsiran al-Qur’an dari situasi sekarang ke era al-Qur’an (diturunkan), lalu
kembali lagi ke masa kini. Artinya pertama, seorang mufassir harus bergerak
dari penanganan-penanganan kasus kongkrit
oleh al-Qur’an dengan mempertimbangkan kondisi sosial yang relevan
ketika itu ke prinsip-prinsip umum di mana keseluruhan ajaran al-Qur’an
berpusat. Kedua, dari peringkat umum ini harus dilakukan kembali kepada legislasi
yang spesifik, dengan memperhitungkan kondisi-kondisi sosial yang ada sekarang.
Menurut
Fazlur Rahman, prosedur yang benar untuk memahami al-Qur’an setidaknya mufassir
harus menempuh dua pendekatan, yaitu: Pertama, mempelajari al-Qur’an dalam Ordo
Historis (Asbabun Nuzul) untuk mengapresiasi tema-tema dan gagasan-gagasannya sehingga diketahui makna yang tepat
dari firman Allah. Tidak dilakukannya pendekatan ini berdampak pada tersesatnya dalam memahami butir penting
tertenu dari ajarannya. Kedua, mengkaji al-Qur’an dalam
konteks latar belakang Sosio Historisnya.
Dengan pendekatan ini akan diketahui laporan tentang bagaimana orang-orang
di lingkungan Nabi memahami perintah-perintah al-Qur’an (Syamsuddin, 1984: 48). Hal ini tidak saja berlaku untuk
ayat-ayatnya secara individual, tetapi untuk al-Qur’an secara keseluruhan.
Tanpa memehami latar belakang mikro dan makronya secara memadai, menurut Rahman
besar kemungkinan seorang akan salah tangkap terhadap maksud al-Qur’an.
Metode “Double Movement” dan Mekanisme Penerapannya
Fazlur
Rahman sejak mulai merintis metodologi tafsirnya memang telah menekankan
pentingnya memahami kondisi-kondisi aktual masyarakat Arab ketika Al-Qur’an
diturunkan dalam rangka menafsirkan pernyataan - pernyataan legal dan
sosio-ekonominya. Metode tafsir yang dikembangkan
Rahman dikenal dengan sebutan gerakan ganda penafsiran (double movement).
Teori gerakan ganda penafsiran ini
dimulai dari dua langkah: langkah pertama, memuat dua cara: pertama, mencari
makna dari pernyataan Al-Qur’an dengan mengkaji situasi historis dan problem
historis dimana pernyataan itu merupakan jawabannya. Yang dimaksud dengan teori
ini adalah, Al-Qur’an harus dilihat dalam situasi
kelahirannya, tentunya melalui realitas
dimana ayat Al-qur’an turun dan dalam sebab apa ayat Al-qur’an turun. kedua , menggeneralisasikan pernyataan-pernyataan yang bermula dari yang
partikular, dari situasi dan asbabunnuzul masing-masing ayat,sebagai pernyataan
yang bersifat universal. Dalam hal ini yang dicari adalah nilai-nilai etisnya
yang bersifat universal.
Langkah kedua, dimulai dari
hal-hal yang bersifat universal, yang dicapai dari langkah pertama di atas,
kepada hal-hal yang bersifat partikular dalam situasi kekinian di mana dan
kapan Al-qur’an hendak diberlakukan. Tujuan ini mensyaratkan seorang pemikir
untuk mengetahui bukan saja aspek tekstual ayat Al-qur’an tetapi juga situasi
kekinian yang partikular, sehingga ketika mempraksiskan yang universal ke dalam
partikularitas kekinian tidak menemui jalan buntu.
Hanya dengan
cara inilah, paparnya suatu apresiasi yang sejati terhadap tujuan-tujaun Al-qur’an dan sunnah yang dapat
dicapai. Aplikasi pendekatan kesejarahan dalam gerakan ganda penafsiran ini
telah membuat Fazrur Rahman menekankan pentingnya pembedaan antara tujuan dan
“ideal moral” Al-qur’an dengan ketentuan legal spesifiknya. “Ideal moral” yang
dituju oleh Al-qur’an lebih pantas untuk diterapkan ketimbang ketentuan legal
spesifiknya. Sebut saja dalam masalah poligami dan perbudakan sebagai contoh. Fazrur Rahman mengungkapkan bahwa “ideal
moral” yang dituju Al-qur’an adalah
monogami dan emansipasi budak. Sementara
penerimaan Al-qur’an terhadap kedua pranata tersebut secara legal dikarenakan
kemustahilan untuk menghapusnya dalam seketika. Menurut Fazlur
Rahman;
“ Bagian dari tugas untuk
memahami pesan Al-qur’an sebagai sebuah kesatuan adalah mempelajarinya dengan
sebuah latar belakang. Latar belakang langsungnya adalah aktifitas Nabi sendiri
dan perjuangannya selama kurang lebih dua puluh tiga tahun dibawah bimbingan
al-qur’an. Karena perjuangan Nabi sendirilah yang sesungguhnya berhak
memperoleh sebutan sunnah, maka penting untuk memahami sebaik mungkin milieu (lingkungan)
Arab pada awal penyebaran Islam, sebab aktifitas Nabi mensyaratkan adanya
milieu tersebut. Dengan demikian adat istiadat, pranata-pranata dan pandangan
hidup orang-orang Arab pada umunya
menjadi sangat penting untuk memahami aktifitas Nabi. Situasi di Mekah
khususnaya, segera sebelum Islam dating juga membutuhkan suatu pemahaman yang
mendalam. Suatu usaha dilakukan tidak hanya untuk memahami agama Arab pra-
Islam, tetapi juga pranata-pranata social, kehidupan ekonomi dan
hubungan-hubungan politik mereka. Peran penting suku Quraisy suku yang sangat
kuat, dan Nabi berasal darinya dan pengaruh kekuasaan religio ekonomisnya di
kalangan orang-orang Arab harus dipahami. Tanpa memahami hal ini, usaha untuk
pesan Al-Qur’an secara utuh merupakan sebuah pekerjaan yang sia-sia”.
Karya-karya
Fazlur Rahman
Karya Fazlur Rahman yang dipublikasikan dalam
bentuk buku seluruhnya adalah: Avicenna’s Psychology (1952), Prophecy
in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958), Islamic Metodology in
History (1965), Islam (1966), The Philosophy of Mulla Sadra
(1975), Major Themes of the Qur’an (1980), Islam dan Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (1982), Health and Medicine
in Islamic Tradition : Change and Identity (1987), Revival and Reform in
Islami (2000), Dalam bentuk artikel ilmiah, karya tersebut di banyak jurnal
baik jurnal lokal (Pakistan) maupun Internasional, serta dimuat dalam banyak
buku . Jurnal-jurnal yang memuat tulisannya antara lain Islamic Studies,
The Muslaim World, dan Studia Islamica,. Sedangkan buku-buku
suntingan terkemuka yang memuat karyanya antara lain: Theology and Law in
Islam yang diedit oleh G.E. von Grunebaum; The Encyclopediaof Relegions
yang diedit oleh Mircea Eliade; Approaches to Islam in Religious Studies
yang diedit olrh Richard C Martin; Islam Past Influence and Present
Challenge yang diedit oleh Alford T. Welch, dan P. Cachia: daan lain
sebagainya.
Contoh
Penafsiran
Penerapan metode tafsir “Double
Movement” dapat penulis ilustrasikan
dengan mengambil kasus “poligami dalam Islam”. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’yang kerap dikutip
sebagai dalil untuk mengabsahkan praktik poligami adalah :
“Dan jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS.
An-Nisa’ : 3).
Yang diinginkan Al-Qur’an sesungguhnya bukan
praktek beristri banyak. Praktek ini tidak sesuai dengan harkat yang telah
diberikan Al-Qur’an kepada wanita. Status wanita yang selama ini cenderung
dinomor duakan akan menjadi semakin kuat jika praktek poligami tetap
diberlakukan. Al-Qur’an menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan punya
kedudukan dan hak yang sama. Maka pernyataan Al-Qur’an bahwa laki-laki boleh
punya istri sampai empat orang hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara
komprehensif. Ada syarat yang diajukan oleh Al-qur’an, yaitu menyangkut
keadilan dalam rumah tangga.
Untuk memahami pesan Al-Qur’an, penelusuran
sosio-historis hendaknya dilakukan. Masalah ini muncul berkenaan dengan para
gadis yatim yang dalam ayat sebelumnya disebutkan, berikanlah kepada anak-anak
yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan
yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
Ayat di atas melarang keras para wali untuk
memakan harta anak yatim. Setelah penekanan
kemudian Al-Qur’an membolehkan para wali untuk mengawini mereka sampai
empat orang. Tetapi menurut Rahman, ada satu prinsip yang sering diabaikan oleh
ulama dalam hal ini, yaitu : “ kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil
di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berlaku demikian” (QS. Al-Nisa’4:129). Dan terdapat juga pada
potongan ayat 3 “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja”.
Dari ayat-ayat tersebut disiratkan suatu makna
bahwa sikap adil itu mustahil dijalankan oleh seorang laki-laki (suami)
terhadap masing-masing istrinya. Jadi, pesan terdalam Al-Qur’an tidak
menganjurkan poligami. Ia justru
memerintahkan sebaliknya, monogami (hidup yang umumnya disepakati oleh dua
belah pihak, laki-laki dan perempuan). Itulah ideal moral yang hendak dituju
Al-Qur’an. Kemudian menurut pemakalah dalam masalah poligami ini memang ada
baiknya seorang laki-laki yang mau berpoligami melihat konteks dan sejarahnya
telebih dahulu, sebab adakalanya seorang istri tidak redho jika dia dipoligami
sekalipun tidak ada syarat bagi laki-laki untuk meminta izin bagi istri.
Seorang suami hendaknya mempunyai rasa kemanusiaan yang mendalam dan meresapi
hadis Nabi yang mengatakan bahwa seorang laki-laki (suami) yang tidak berlaku
adil terhadap istri-istrinya maka di akhirat dia berjalan dengan kondisi
bengkok (pen.terseok-seok).
Selain dari contoh yang dikemukakan oleh Fazlur
Rahman di atas ada contoh lain dalam tafsir kontektual ini, untuk itu pemakalah dapat menyimpulkan bahwa penerapan tafsir
kontekstual ini sudah terjadi sejak masa Kholifah Umar bin Khottob, dimana Umar bin khottob tidak memberikan
hukum potong tangan bagi pencuri lantaran kondisi pencuri itu sangat
memperhatinkan. Dan Umar juga tidak membagikan harta rampasan kepada para Prajurit dikarenakan
semua kebutuhan dan peralatan sudah disediakan oleh Negara sehingga dalam
masalah harta rampasan adalah menjadi milik (kas) Negara. Kedua contoh yang
diterapkan oleh Umar jelas menyalai nas al-Qur’an yang didalamnya mengandung
hukum potong tangan bagi pencuri dan memberikan harta rampasan kepada sahabat
yang ikut dalam berperang sebagaimana Nabi pernah membagikan harta rampasan
tersebut, akan tetapi Umar melihat kondisi yang sangat berbeda dan tidak
mungkin menjalankan hukuman tersebut.
0 comments:
Post a Comment